BANGSA TANPA BUKU

Saturday, August 4, 2012



oleh : Ambo Dalle

Tinjauan Pendidikan

ANWARI WMK

MUNGKINKAH ada bangsa tanpa buku? Jawabnya: “tidak mungkin”. Sebab, hayat sebuah bangsa memang tak dapat dilepaskan dari buku. Sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, buku turut serta memberikan kontribusi bagi kemajuan sebuah bangsa. Buku merupakan salah satu fundamen dasar keunggulan sebuah bangsa.
Tetapi, secara relatif, eksistensi sebuah bangsa bisa tiba-tiba tanpa buku. Jika jumlah buku yang diterbitkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan besarnya jumlah populasi penduduk, maka tak terelakkan jika sebuah bangsa ditengarai hidup tanpa buku. Magnitude produksi buku sangat tidak signifikan dibandingkan dengan besarnya jumlah populasi penduduk. Indonesia, misalnya, merupakan negara dengan jumlah penduduk besar di Asia. Tetapi produksi buku di Indonesia hanya 10.000 judul per tahun, kalah dibandingkan Vietnam yang mampu memproduksi 15.000 judul buku per tahun, dan tertinggal jauh dibandingkan dengan Jepang yang mampu memproduksi buku 40.000 judul per tahun.

Di lingkungan Asia sesungguhnya timbul perkembangan menarik pada aras hubungan antara produksi buku dan jumlah populasi penduduk. Semakin tinggi jumlah populasi penduduk, semakin menanjak pula jumlah buku yang diterbitkan berdasarkan data judul. China dan India tercatat sebagai negara dengan populasi penduduk sangat besar di Asia. Hebatnya, produki buku berada dalam magnitude yang besar. Jika di India mencapai 60.000 judul buku per tahun, di China mencapai 140.000 judul buku per tahun.
Mengacu pada besarnya jumlah penduduk, produksi buku di Indonesia semestinya berada di bawah India. Indonesia semestinya memproduksi 50.000 judul buku per tahun. Sayangnya, harapan ini masih muskil untuk dapat diwujudkan. Sebab pokoknya terkait dengan minat membaca buku. Selama minat membaca buku rendah, maka selama itu pula rendah tingkat produksi buku.
Kita kini harus tegas menyebut, bahwa rendahnya minat membaca buku merupakan persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa ini. Tak adanya tradisi membaca buku hanya menyeret bangsa ini untuk terjerembab ke dalam habitus solusi masalah tanpa buku. Sehingga paling jauh, solusi masalah hanya berpijak pada kebenaran logis, sepenuhnya abai terhadap keberanaran epistemik. Hipokritas yang menyeruak di dunia politik merupakan dampak tak terelakkan dari lebih dominannya kebenaran logis ketimbang kebenaran epistemik, akibat rendahnya minat membaca buku. Begitu juga halnya dengan perekonomian yang miskin inovasi serta dilanda deflasi kreativitas, merupakan konsekuensi logis dari rendahnya minat membaca buku.
Demi memacu peningkatan minat membaca buku, ada dua agenda yang relevan diimplementasikan. Pertama, penyaluran dana APBN dan APBD untuk tujuan pengadaan buku, mutlak dievaluasi dampaknya terhadap peningkatan minat baca buku di tengah kancah masyarakat. Kedua, peningkatan minat baca melalui ketersediaan buku murah mengharuskan pengapusan pajak buku, pajak kertas, dan pajak pendapatan penulis. Abai terhadap dua agenda ini hanya menjerumuskan Indonesia menjadi bangsa tanpa buku yang amat sangat tragis. Apa memang itu yang dihendaki: menjadi bangsa tanpa buku?[]


0 komentar:

Post a Comment