oleh :
Ambo Dalle
Tinjauan
Pendidikan
ANWARI
WMK
MUNGKINKAH ada bangsa
tanpa buku? Jawabnya: “tidak mungkin”. Sebab, hayat sebuah bangsa memang tak
dapat dilepaskan dari buku. Sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, buku
turut serta memberikan kontribusi bagi kemajuan sebuah bangsa. Buku merupakan
salah satu fundamen dasar keunggulan sebuah bangsa.
Tetapi, secara
relatif, eksistensi sebuah bangsa bisa tiba-tiba tanpa buku. Jika jumlah buku
yang diterbitkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan besarnya jumlah populasi
penduduk, maka tak terelakkan jika sebuah bangsa ditengarai hidup tanpa buku.
Magnitude produksi buku sangat tidak signifikan dibandingkan dengan besarnya
jumlah populasi penduduk. Indonesia, misalnya, merupakan negara dengan jumlah
penduduk besar di Asia. Tetapi produksi buku di Indonesia hanya 10.000 judul
per tahun, kalah dibandingkan Vietnam yang mampu memproduksi 15.000 judul buku
per tahun, dan tertinggal jauh dibandingkan dengan Jepang yang mampu
memproduksi buku 40.000 judul per tahun.
Di lingkungan Asia
sesungguhnya timbul perkembangan menarik pada aras hubungan antara produksi
buku dan jumlah populasi penduduk. Semakin tinggi jumlah populasi penduduk,
semakin menanjak pula jumlah buku yang diterbitkan berdasarkan data judul.
China dan India tercatat sebagai negara dengan populasi penduduk sangat besar
di Asia. Hebatnya, produki buku berada dalam magnitude yang besar. Jika di
India mencapai 60.000 judul buku per tahun, di China mencapai 140.000 judul
buku per tahun.
Mengacu pada besarnya
jumlah penduduk, produksi buku di Indonesia semestinya berada di bawah India.
Indonesia semestinya memproduksi 50.000 judul buku per tahun. Sayangnya,
harapan ini masih muskil untuk dapat diwujudkan. Sebab pokoknya terkait dengan
minat membaca buku. Selama minat membaca buku rendah, maka selama itu pula
rendah tingkat produksi buku.
Kita kini harus tegas
menyebut, bahwa rendahnya minat membaca buku merupakan persoalan besar yang
tengah dihadapi bangsa ini. Tak adanya tradisi membaca buku hanya menyeret
bangsa ini untuk terjerembab ke dalam habitus solusi masalah tanpa buku.
Sehingga paling jauh, solusi masalah hanya berpijak pada kebenaran logis,
sepenuhnya abai terhadap keberanaran epistemik. Hipokritas yang menyeruak di
dunia politik merupakan dampak tak terelakkan dari lebih dominannya kebenaran
logis ketimbang kebenaran epistemik, akibat rendahnya minat membaca buku.
Begitu juga halnya dengan perekonomian yang miskin inovasi serta dilanda
deflasi kreativitas, merupakan konsekuensi logis dari rendahnya minat membaca
buku.
Demi memacu
peningkatan minat membaca buku, ada dua agenda yang relevan diimplementasikan.
Pertama, penyaluran dana APBN dan APBD untuk tujuan pengadaan buku, mutlak
dievaluasi dampaknya terhadap peningkatan minat baca buku di tengah kancah
masyarakat. Kedua, peningkatan minat baca melalui ketersediaan buku murah
mengharuskan pengapusan pajak buku, pajak kertas, dan pajak pendapatan penulis.
Abai terhadap dua agenda ini hanya menjerumuskan Indonesia menjadi bangsa tanpa
buku yang amat sangat tragis. Apa memang itu yang dihendaki: menjadi bangsa
tanpa buku?[]
0 komentar:
Post a Comment