Oleh:
Muhammad Ja’far
"Saya sama
sekali tidak setuju ada yang mengatakan bahwa biaya kuliah di Fakultas
Kedokteran tinggi, karena logika pasar. Karena permintaan naik, lalu harga
naik. Perguruan tinggi bukan pasar dan bukan unit bisnis. Kita adalah unit
pendidikan".
Adalah Rektor
Universitas Diponegoro, Profesor Sudharto P Hadi, yang mengeluarkan statement
tersebut. (Kompas, 221 Juni 2012). Sudharto tidak setuju jika universitas
disamakan dengan pasar. Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang
menghasilkan lulusan berkualitas.
Biaya kuliah yang
tinggi di Fakultas Kedokteran, menurut Sudharto, disebabkan oleh besarnya biaya
operasional. Misalnya, kebutuhan praktikum dan laboratorium. Selain itu, kata
Sudharto, masa studi di Fakultas Kedokteran juga lebih lama dari bidang studi
lain.
Sudharto tak salah.
Spirit yang dia hembuskan sangat mulia. Jika pendidikan telah menjadi pasar,
lalu apa lagi yang bisa disebut “tidak terhingga nilainya”? Bukankah ilmu
adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kita nilai dengan apapun? Maka, ada
adagium klasik: siapa berilmu, akan dikejar dunia; barang siapa tak berilmu,
akan tergopoh-gopoh mengejar dunia. Demikian murninya ilmu.
Jadi, kalau Sudharto
masih yakin kalau pendidikan Indonesia bukan sebagai pasar, itu berada pada
semangat yang otentik dari nilai pendidikan: ilmu “tidak terhingga nilainya”.
Kita semua setuju dengan Bapak Profesor itu.
Ilmu, dalam sebuah
pandangan keagamaan tertentu, diposisikan sebagai eskalator yang akan
mengangkat derajat seseorang beberapa tingkat. Martabat dikantrol oleh ilmu.
Kemanusiaan di junjung oleh ilmu. Kehormatan sosial seseorang dapat terangkat
oleh kail ilmunya.
Sementara mereka yang
memiliki kapital (berstatus sebagai orang kaya), justru “membeli” status sosial
dengan kekuatan kapitalnya itu. Ilmu tak dapat dibeli dengan apapun. Sementara
harta bisa membeli apapun, kecuali kehormatan keilmuan. Sekali lagi, kita semua
setuju dengan nasihat Profesor Sudharto diatas.
Pendidikan bukanlah
pasar. Pasar adalah simbol kapital. Dalam paradigma kapitalisme, pasar adalah
muara terjadinya proses transaksional. Basisnya adalah uang. Tukar menukar
dilakukan di pasar. Produk ditukar dengan nominal uang. Nilai produk diukur
dengan deretan angka-angka yang tersemat di uang. Satu digit, dua, tiga,
empat...
Semakin mahal sebuah
produk, itu artinya ia memiliki bobot kapital yang wah. Sebaliknya,
produk-produk yang tidak berbobot, akan dihargai dengan nominal murah. Ini
salah satu standar kapitalisasi sebuah produk.
Tak cukup dipatok
dengan kualitasnya, dalam paradigma kapitalisme berlaku hukum: supply and
demand. Harga ditentukan rating permintaan dan penawaran. Semakin langka sebuah
produk, sementara permintaan membludak, bisa dipastikan harganya melejit.
Sebaliknya, produk membanjiri pasar, permintaan melempem, harga terjun bebas.
Ini hukum yang berlaku di ring kapitalisme.
Profesor Sudharto tak
setuju jika pendidikan (kedokteran) dimasukkan ke kalkulasi rumus model seperti
itu. Alasannya sederhana: karena ilmu bukan barang. Maka, ilmu tak tergantung
pada rumus-rumus pasar. Walaupun permintaan pasar terhadap “barang yang namanya
pendidikan” sedang ramai, “harga” pendidikan tetap stabil. Pun jika yang
penurunan permintaan: “harga” pendidikan tak bergeming.
Ilmu tetap stabil
dalam kursi kehormatannya. Ia tak tergoda dengan buaian fluktuasi pasar yang
menjanjikan profit berlimpah. Ilmu juga tak gentar akan menjadi “barang tak
laku”, meski pasar sedang lesu. Ilmu, yaa..ilmu. Ia tetap berharga,
bagaimanapun kondisi pasar kebutuhannya. Demikian kira-kira pesan Profesor
Sudharto, kalau penulis tak salah menafsirkannya. Dan sekali lagi, kita semua
tak silang pendapat dengan Profesor Sudharto.
Ilmu kedokteran,
disipilin yang oleh Profesor Sudharto sedang diperjuangkan “keberhargaannya”,
otentiknya adalah ilmu kemanusiaan. Kedokteran bukan semata ilmu tentang
memperbaiki organ tubuh. Kedokteran bertumpu pada filosofi: tubuh dan jiwa tak
terpisahkan. Memperbaiki organ bukan semata soal jasmani, tapi juga ruhani.
Itulah esensi ilmu kedokteran: kemanusiaan.
Pembelaan Profesor
Sudharto terhadap ilmu kedokteran sepertinya mengacu pada filosofi fundamental
itu. (Sekali lagi, kalau penulis tidak salah menafsirkannya). Karena manusia
adalah makhluk yang eksistensinya “tidak bisa dihargai” dengan apapun, maka
ilmu yang menggeluti soal kemanusiaan tak boleh memiliki label harga. Itulah
ilmu kedokteran: melampaui angka-angka. Tak ternilai oleh nomila apapun. Itu
unit pendidikan, bukan pasar penawaran-permintaan.
Kita semua berharap,
apa yang disampaikan Profesor Sudharto adalah yang benar-benar terjadi di dunia
pendidikan kita. Fakta yang sebaliknya semoga jauh dari dunia pendidikan kita.
Jika ilmu kedokteran
sudah “dipasarkan”, saat itu pula otentisitas kemanusiaannya tercerabut. Karena
dalam perspektif ilmu kedokteran yang seperti itu, manusia akan diberi tarif.
Kemanusiaan menjadi “berharga”: ada harganya, alias tidak lagi menjadi “tidak
ternilai”.
Tentu bisa
dibayangkan bagaimana dampaknya, jika nilai kemanusiaan fluktuatif mengikuti
grafik permintaan-penawaran pasar. Ada tempo dimana kemanusiaan akan sangat
murah. Pada kesempatan lain, kemanusiaan akan sangat mahal sekali. Bahkan
mungkin menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Kalaupun ada, akan menjadi
barang lelang.
“Sekali lagi, kita
semua setuju dengan Anda, Profesor Sudharto”.
Muhammad Ja'far,
Peneliti Filsafat Pendidikan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta
0 komentar:
Post a Comment