ILMU BUKAN KOMODITI, PENDIDIKAN BUKAN PASAR

Saturday, August 4, 2012


Oleh: Muhammad Ja’far 

"Saya sama sekali tidak setuju ada yang mengatakan bahwa biaya kuliah di Fakultas Kedokteran tinggi, karena logika pasar. Karena permintaan naik, lalu harga naik. Perguruan tinggi bukan pasar dan bukan unit bisnis. Kita adalah unit pendidikan".
Adalah Rektor Universitas Diponegoro, Profesor Sudharto P Hadi, yang mengeluarkan statement tersebut. (Kompas, 221 Juni 2012). Sudharto tidak setuju jika universitas disamakan dengan pasar. Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan berkualitas.
Biaya kuliah yang tinggi di Fakultas Kedokteran, menurut Sudharto, disebabkan oleh besarnya biaya operasional. Misalnya, kebutuhan praktikum dan laboratorium. Selain itu, kata Sudharto, masa studi di Fakultas Kedokteran juga lebih lama dari bidang studi lain.
Sudharto tak salah. Spirit yang dia hembuskan sangat mulia. Jika pendidikan telah menjadi pasar, lalu apa lagi yang bisa disebut “tidak terhingga nilainya”? Bukankah ilmu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kita nilai dengan apapun? Maka, ada adagium klasik: siapa berilmu, akan dikejar dunia; barang siapa tak berilmu, akan tergopoh-gopoh mengejar dunia. Demikian murninya ilmu.
Jadi, kalau Sudharto masih yakin kalau pendidikan Indonesia bukan sebagai pasar, itu berada pada semangat yang otentik dari nilai pendidikan: ilmu “tidak terhingga nilainya”. Kita semua setuju dengan Bapak Profesor itu.
Ilmu, dalam sebuah pandangan keagamaan tertentu, diposisikan sebagai eskalator yang akan mengangkat derajat seseorang beberapa tingkat. Martabat dikantrol oleh ilmu. Kemanusiaan di junjung oleh ilmu. Kehormatan sosial seseorang dapat terangkat oleh kail ilmunya.
Sementara mereka yang memiliki kapital (berstatus sebagai orang kaya), justru “membeli” status sosial dengan kekuatan kapitalnya itu. Ilmu tak dapat dibeli dengan apapun. Sementara harta bisa membeli apapun, kecuali kehormatan keilmuan. Sekali lagi, kita semua setuju dengan nasihat Profesor Sudharto diatas.
Pendidikan bukanlah pasar. Pasar adalah simbol kapital. Dalam paradigma kapitalisme, pasar adalah muara terjadinya proses transaksional. Basisnya adalah uang. Tukar menukar dilakukan di pasar. Produk ditukar dengan nominal uang. Nilai produk diukur dengan deretan angka-angka yang tersemat di uang. Satu digit, dua, tiga, empat...
Semakin mahal sebuah produk, itu artinya ia memiliki bobot kapital yang wah. Sebaliknya, produk-produk yang tidak berbobot, akan dihargai dengan nominal murah. Ini salah satu standar kapitalisasi sebuah produk.

Tak cukup dipatok dengan kualitasnya, dalam paradigma kapitalisme berlaku hukum: supply and demand. Harga ditentukan rating permintaan dan penawaran. Semakin langka sebuah produk, sementara permintaan membludak, bisa dipastikan harganya melejit. Sebaliknya, produk membanjiri pasar, permintaan melempem, harga terjun bebas. Ini hukum yang berlaku di ring kapitalisme.
Profesor Sudharto tak setuju jika pendidikan (kedokteran) dimasukkan ke kalkulasi rumus model seperti itu. Alasannya sederhana: karena ilmu bukan barang. Maka, ilmu tak tergantung pada rumus-rumus pasar. Walaupun permintaan pasar terhadap “barang yang namanya pendidikan” sedang ramai, “harga” pendidikan tetap stabil. Pun jika yang penurunan permintaan: “harga” pendidikan tak bergeming.
Ilmu tetap stabil dalam kursi kehormatannya. Ia tak tergoda dengan buaian fluktuasi pasar yang menjanjikan profit berlimpah. Ilmu juga tak gentar akan menjadi “barang tak laku”, meski pasar sedang lesu. Ilmu, yaa..ilmu. Ia tetap berharga, bagaimanapun kondisi pasar kebutuhannya. Demikian kira-kira pesan Profesor Sudharto, kalau penulis tak salah menafsirkannya. Dan sekali lagi, kita semua tak silang pendapat dengan Profesor Sudharto.
Ilmu kedokteran, disipilin yang oleh Profesor Sudharto sedang diperjuangkan “keberhargaannya”, otentiknya adalah ilmu kemanusiaan. Kedokteran bukan semata ilmu tentang memperbaiki organ tubuh. Kedokteran bertumpu pada filosofi: tubuh dan jiwa tak terpisahkan. Memperbaiki organ bukan semata soal jasmani, tapi juga ruhani. Itulah esensi ilmu kedokteran: kemanusiaan.
Pembelaan Profesor Sudharto terhadap ilmu kedokteran sepertinya mengacu pada filosofi fundamental itu. (Sekali lagi, kalau penulis tidak salah menafsirkannya). Karena manusia adalah makhluk yang eksistensinya “tidak bisa dihargai” dengan apapun, maka ilmu yang menggeluti soal kemanusiaan tak boleh memiliki label harga. Itulah ilmu kedokteran: melampaui angka-angka. Tak ternilai oleh nomila apapun. Itu unit pendidikan, bukan pasar penawaran-permintaan.
Kita semua berharap, apa yang disampaikan Profesor Sudharto adalah yang benar-benar terjadi di dunia pendidikan kita. Fakta yang sebaliknya semoga jauh dari dunia pendidikan kita.
Jika ilmu kedokteran sudah “dipasarkan”, saat itu pula otentisitas kemanusiaannya tercerabut. Karena dalam perspektif ilmu kedokteran yang seperti itu, manusia akan diberi tarif. Kemanusiaan menjadi “berharga”: ada harganya, alias tidak lagi menjadi “tidak ternilai”.
Tentu bisa dibayangkan bagaimana dampaknya, jika nilai kemanusiaan fluktuatif mengikuti grafik permintaan-penawaran pasar. Ada tempo dimana kemanusiaan akan sangat murah. Pada kesempatan lain, kemanusiaan akan sangat mahal sekali. Bahkan mungkin menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Kalaupun ada, akan menjadi barang lelang.

“Sekali lagi, kita semua setuju dengan Anda, Profesor Sudharto”.
Muhammad Ja'far, Peneliti Filsafat Pendidikan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

0 komentar:

Post a Comment