Euforia kelulusan Ujian Nasional (UN)
mewarnai berbagai daerah. Beragam cara diekpresikan untuk merayakan tanda
kesuksesan menempuh pendidikan. Pemerintah juga beruforia ria. Tampak dari
peryataan resmi bahwa "99 persen peserta Ujian Nasional Sekolah Menengah
Atas lulus." Sebuah prestasi yang membanggakan tentunya. Terutama jika
kita mengingat pelaksanaan Ujian Nasional beberapa periode yang lalu, dimana
angka ketidaklulusan cukup tinggi.
Namun aneh bin ajaib, saat semua larut
dalam euforia, sesuatu yang tak biasa terjadi sudut negeri ini, Papua. Apakah
angka kelulusan disana rendah? Sama sekali tidak. Bahkan, angka kelulusan untuk
jenjang Sekolah Menengah Atas dan sederajat di Kabupaten Merauke, Papua,
mencapai 95 persen. Harusnya, mereka juga beruforia bersama.
"Hasil Ujian Nasional ini tak usah
dibanggakan. Itu bukan patokan kualitas lulusan yang sesungguhnya. Perbedaan
kualitas dengan daerah lain sangat jauh," ujar Kepala Dinas Pendidikan dan
Pengajaran Merauke, Vincentius Mekiuw di Merauke. (Kompas, 28 Mei 2012).
Vincentius mengakui bahwa kualitas lulusan
di Merauke kalah jauh dibandingkan daerah lain, seperti di Jawa. Secara
sederhana, kualitas lulusan diukur saat ikut ujian seleksi nasional masuk
perguruan tinggi negeri, bukan Ujian Nasional.
"Siswa dari Merauke kalau mau masuk
Perguruan Tinggi Negeri terkenal harus matrikulasi satu tahun dulu. Kalau
tidak, jangan harap bisa bersaing," katanya.
Paradigma Vincentius menghentakkan
kesadaran kita yang larut merayakan kesuksesan pelaksanaan Ujian Nasional. Kita
semua berpandangan, bahwa itu merupakan tolak ukur keberhasilan pendidikan
kita. Vincentius menolak logika itu.
Apakah yang ditampilkan Vincentius melalui
peryataannya tersebut merupakan cerminan "inferioritas" budaya
pendidikan? Vincentius merasa minder dihadapan daerah lain yang lebih
sentralistik dalam hal pendidikan, seperti Jawa? Kekuasaan Orde Baru memang
mewariskan ketimpangan pengelolaan dan pembangunan daerah. Jawa dianakemaskan,
sementara kawasan luar Jawa ditelantarkan. Juga dalam hal pendidikan. Tapi,
rasanya Vincentius tidak sedang mengungkapkan rasa rendah diri atau mindernya.
Atau sebaliknya: Vincentius sedang
"bersombong ria"? Saat seluruh insan pendidikan nasional
membangga-banggakan hasil Ujian Nasional, bagi Vincentius itu justru bukan
sesuatu yang patut dibanggakan. Apakah peryataan Vincentius itu terdengar
seperti sebuah kesombongan? Rasanya tidak. Jutru sebaliknya: tersirat
kerendahan hati didalamnya.
Apa yang disuarakan Vincentius memang
bagian dari sikap kritis atas kondisi yang masih berlanjut di era reformasi
ini. Pemerataan pendidikan masih belum dilakukan. Berbagai daerah terpencil di
ujung Indonesia, belum tersentuh oleh tangan manis kebijakan pendidikan
pemerintah. Mereka menjalankan "kincir" pendidikan dengan segala
keterbatasan "angin" kebijakan dari pusat. Yang penting, pendidikan
dapat "berputar", meski terengah-engah.
Vincentius merasakan betul kondisi itu.
Keterbatasan guru, kualitas sarana prasarana dan dana pendidikan menjadi
kondisi keseharian yang menghimpit. Dalam kondisi seperti itulah, Ujian
Nasional dilaksanakan, dengan semua pahit manis hasilnya.
Vincentius sedang menyuarakan kritik. Ia
mencoba untuk jujur. Polos apa adanya. Ia tidak sedang minder. Apalagi
bersombong ria.
Bagi Vincentius, hasil Ujian Nasional
memang membanggakan. Setidaknya lebih baik dari tahun kemarin yang penuh dengan
tabiat contek mencontek. Namun, buat Vincentius, tak sepatutnya kita larut
dalam kebanggaan sesaat itu.
Angka-angka di ijazah siswa itu tak bisa
dijadikan patokan utama, apalagi satu-satunya. Bagi Vincentius, pemerataan
kualitas pendidikan tidak selesai hanya sampai diatas kertas ijazah pendidikan
itu. Dan seperti kata Vincentius, dalam ajang seleksi masuk Perguruan Tinggi
Nasional, anak didiknya akan kesulitan bersaing dengan siswa dari daerah lain.
Vincentius adalah cermin sebenarnya dunia
pendidikan nasional. Kita tidak boleh larut dalam wajah pendidikan yang hanya
berupa "solekan" semata. Boleh saja kita berdandan di depan cermin
pendidikan. Namun bukan berarti melupakan wajah asli dibaliknya. Apalagi
mengingkarinya.
Vincentius menunjukkan wajah asli itu
kepada kita. Wajah asli pendidikan kita.
Oleh:
Muhammad Ja'far
0 komentar:
Post a Comment