TERIMA KASIH VINCENTIUS! TELAH MENUNJUKKAN WAJAH PENDIDIKAN KITA

Thursday, June 21, 2012

Euforia kelulusan Ujian Nasional (UN) mewarnai berbagai daerah. Beragam cara diekpresikan untuk merayakan tanda kesuksesan menempuh pendidikan. Pemerintah juga beruforia ria. Tampak dari peryataan resmi bahwa "99 persen peserta Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas lulus." Sebuah prestasi yang membanggakan tentunya. Terutama jika kita mengingat pelaksanaan Ujian Nasional beberapa periode yang lalu, dimana angka ketidaklulusan cukup tinggi.
Namun aneh bin ajaib, saat semua larut dalam euforia, sesuatu yang tak biasa terjadi sudut negeri ini, Papua. Apakah angka kelulusan disana rendah? Sama sekali tidak. Bahkan, angka kelulusan untuk jenjang Sekolah Menengah Atas dan sederajat di Kabupaten Merauke, Papua, mencapai 95 persen. Harusnya, mereka juga beruforia bersama.
"Hasil Ujian Nasional ini tak usah dibanggakan. Itu bukan patokan kualitas lulusan yang sesungguhnya. Perbedaan kualitas dengan daerah lain sangat jauh," ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Merauke, Vincentius Mekiuw di Merauke. (Kompas, 28 Mei 2012).
Vincentius mengakui bahwa kualitas lulusan di Merauke kalah jauh dibandingkan daerah lain, seperti di Jawa. Secara sederhana, kualitas lulusan diukur saat ikut ujian seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, bukan Ujian Nasional.
"Siswa dari Merauke kalau mau masuk Perguruan Tinggi Negeri terkenal harus matrikulasi satu tahun dulu. Kalau tidak, jangan harap bisa bersaing," katanya.
Paradigma Vincentius menghentakkan kesadaran kita yang larut merayakan kesuksesan pelaksanaan Ujian Nasional. Kita semua berpandangan, bahwa itu merupakan tolak ukur keberhasilan pendidikan kita. Vincentius menolak logika itu.
Apakah yang ditampilkan Vincentius melalui peryataannya tersebut merupakan cerminan "inferioritas" budaya pendidikan? Vincentius merasa minder dihadapan daerah lain yang lebih sentralistik dalam hal pendidikan, seperti Jawa? Kekuasaan Orde Baru memang mewariskan ketimpangan pengelolaan dan pembangunan daerah. Jawa dianakemaskan, sementara kawasan luar Jawa ditelantarkan. Juga dalam hal pendidikan. Tapi, rasanya Vincentius tidak sedang mengungkapkan rasa rendah diri atau mindernya.
Atau sebaliknya: Vincentius sedang "bersombong ria"? Saat seluruh insan pendidikan nasional membangga-banggakan hasil Ujian Nasional, bagi Vincentius itu justru bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Apakah peryataan Vincentius itu terdengar seperti sebuah kesombongan? Rasanya tidak. Jutru sebaliknya: tersirat kerendahan hati didalamnya.
Apa yang disuarakan Vincentius memang bagian dari sikap kritis atas kondisi yang masih berlanjut di era reformasi ini. Pemerataan pendidikan masih belum dilakukan. Berbagai daerah terpencil di ujung Indonesia, belum tersentuh oleh tangan manis kebijakan pendidikan pemerintah. Mereka menjalankan "kincir" pendidikan dengan segala keterbatasan "angin" kebijakan dari pusat. Yang penting, pendidikan dapat "berputar", meski terengah-engah.
Vincentius merasakan betul kondisi itu. Keterbatasan guru, kualitas sarana prasarana dan dana pendidikan menjadi kondisi keseharian yang menghimpit. Dalam kondisi seperti itulah, Ujian Nasional dilaksanakan, dengan semua pahit manis hasilnya.
Vincentius sedang menyuarakan kritik. Ia mencoba untuk jujur. Polos apa adanya. Ia tidak sedang minder. Apalagi bersombong ria.
Bagi Vincentius, hasil Ujian Nasional memang membanggakan. Setidaknya lebih baik dari tahun kemarin yang penuh dengan tabiat contek mencontek. Namun, buat Vincentius, tak sepatutnya kita larut dalam kebanggaan sesaat itu.
Angka-angka di ijazah siswa itu tak bisa dijadikan patokan utama, apalagi satu-satunya. Bagi Vincentius, pemerataan kualitas pendidikan tidak selesai hanya sampai diatas kertas ijazah pendidikan itu. Dan seperti kata Vincentius, dalam ajang seleksi masuk Perguruan Tinggi Nasional, anak didiknya akan kesulitan bersaing dengan siswa dari daerah lain.
Vincentius adalah cermin sebenarnya dunia pendidikan nasional. Kita tidak boleh larut dalam wajah pendidikan yang hanya berupa "solekan" semata. Boleh saja kita berdandan di depan cermin pendidikan. Namun bukan berarti melupakan wajah asli dibaliknya. Apalagi mengingkarinya.
Vincentius menunjukkan wajah asli itu kepada kita. Wajah asli pendidikan kita.
 
Oleh: Muhammad Ja'far
 

0 komentar:

Post a Comment