NILAI UJIAN BAHASA INDONESIA RENDAH.TANYA KENAPA?

Thursday, June 21, 2012

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa mayoritas kegagalan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) pada ujian nasional tahun ini ada pada Bahasa Indonesia dan Matematika. Di kedua mata pelajaran tersebut, banyak siswa yang memiliki nilai buruk. Ironisnya, sebagian dari para siswa itu sekolah-sekolah di wilayah perkotaan, seperti ibu kota provinsi atau ibu kota kabupaten/kota.

Tanpa mengabaikan beberapa perbaikan pelaksaan dan prestasi hasil ujian tahun ini, data diatas merupakan bahan koreksi diri untuk dunia pendidikan Indonesia. Terutama soal bahasa Indonesia. Buruknya nilai bahasa Indonesia para siswa, menunjukkan ada sesuatu yang salah didalamnya. Bukan hanya “didalam” sistem pengajaran bahasa Indonesia, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan.
Bahasa adalah fundamental ketahanan budaya sebuah bangsa. Prestise kultural sebuah bangsa, dapat diukur dari bahasanya. Harga diri sebuah bangsa ada pada bahasanya. Dan penghargaan sebuah bangsa terhadap bahasa bangsa yang lain, paralel dengan penghargaan bangsa itu sendiri terhadap bahasanya sendiri.
Bahasa juga jembatan historis. Pergerakan sebuah bangsa menuju masa lalu dan masa depannya, memerlukan bahsa sebagai penghantarnya. Akan terjadi keterputusan dengan masa lalu, ketika sebuah bangsa tidak menjaga perbendaharaan bahasanya. Juga akan kesulitan untuk naik “kereta (yang sedang menuju) masa depan”, jika sebuah bangsa tak mengantongi tiket perjalanannya: bahasa.
Kesimpulannya, bangsa yang kehilangan bahasanya, akan kehilangan harga dan jati dirinya, masa lalunya, sekaligus masa depannya. Bangsa tanpa kebudayaan.
Data yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaknya dilihat dalam perspektif ini. Bahwa ada sesuatu yang salah dan harus segera dibenahi terkait dengan bahasa Indonesia di negeri ini.
Kenapa nilai bahasa Indonesia (dan Matematika) yang anjlok?
”Kenapa Bahasa Indonesia dan Matematika, harus kami analisis lagi,” demikian pandangan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hamid Muhammad di Jakarta, Kamis, 24 Mei 2012.
Benar. Fakta ini harus segera di analisis dengan komprehensif dan tajam. Setidaknya, ada beberapa pandangan yang bisa kita jadikan pertimbangan, dalam menganalisis fakta ini. Tapi, ini baru sekedar tinjauan awal.
Pertama, mungkin ini bagian dari fenomena ketergerusan budaya Indonesia oleh budaya luar. Surutnya pemahaman terhadap bahasa Indonesia, yang terindikasikan salah satunya, dari jatuhnya nilai bahasa Indonesia, menjadi petanda ketergerusan ini. Sebaliknya, dominasi dan hegemoni bahasa asing semakin kuat. Ada kesalahpahaman dalam paradigma masyarakat kita. Penguasaan bahasa asing tidak ditempatkan sebagai bagian dari visi global dan interaksi budaya. Tapi lebih merefleksikan gejala inferioritas budaya lokal terhadap global. Bahasa Indonesia disimbolkan sebagai keterbelakangan kultural dihadapan semarak budaya asing.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa ketidaklulusan bahasa Indonesia justru banyak terjadi di daerah perkotaan. Kota menjadi salah satu simbol ketergerusan budaya.
Kedua, fenomena anjloknya nilai Bahasa Indonesia juga bisa dilihat dari sudut pandang sistem pendidikan. Soal sistem pengajaran bahasa Indonesia. Ditengah massifnya kegandrungan pada bahasa asing, sistem pendidikan kita masih belum merespon baik fakta tersebut. Idealnya, pendidikan meresponnya dengan melakukan revitalisasi dalam sistem pengajaran bahasa Indonesia. Ini penting untuk menghindari terjadinya ketidakrelevanan sistem pengajaran bahasa Indonesia dengan dinamika dan progresifitas realitas kebahasaan.
Sistem pengajaran bahasa Indonesia harus terus mengalami pembaharuan. Ini cara bahasa untuk mempertahankan eksistensi dan relevansinya. Saat ini, sepertinya iswa lebih responsif terhadap sistem pengajaran bahasa yang tidak formalistik. Yang lebih menekankan pada sisi analitik, ketimbang tutorialistik.
Menarik untuk disimak fenomena yang diistilahkan dengan “bahasa gaul”. Dalam perspektif tertentu, munculnya fenomena tersebut dapat dibaca sebagai katalisator anak-anak remaja terhadap perkembangan bahasa yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem pengajaran bahasa di sekolah. “Bahasa gaul” menjadi semacam pelarian terhadap gairah mereka terhadap formulasi bahasa yang responsif terhadap perkembangan zaman.
Secara tata bahasa, apa yang disebut dengan “bahasa gaul” itu jauh dari kaidah-kaidah. Namun, para remaja sepertinya mendapatkan kepuasan didalamnya. Karena selain sebagai bentuk pendobrakan terhadap kebekuan dan kebakuan tata bahasa, juga perlawanan simbolik terhadap sistem pengajaran bahasa yang stagnan.
Ketiga, secara politis, kita berada di era transisi. Dari era Orba yang sentralistik, termasuk terhadap bahasa, menuju era kebebasan. Proses transisi ini sepertinya belum dijalani dengan baik dalam dunia kebahasaan kita. Jika sebelumnya bahasa sangat dikontrol oleh negara. Maka di era kebebasan ini, belum terbangun sebuah cakrawala bahasa yang relevan dengan aura kebebasan yang dihirup. Bahkan, pada beberapa sisi, terlihat kesemerawutan berbahasa. Seperti simbol katarsisme kita yang lepas dari represi. Mungkin, sebagaimana perpolitikan kita, bahasa Indonesia juga sedang berjuang melewati era transisi. Era yang menyediakan kebebasan, tapi tetap bervisi.
Jadi, kalau nilai ujian nasional bahasa Indonesia pelajar kita masih banyak yang jelek. Maka, ini signal bagia seluruh elemen pendidikan negeri ini. Sedang terjadi “sesuatu” dalam dunia bahasa kita. Dan itu artinya, sedang terjadi “sesuatu” dalam jati diri, harga diri, dan persepktif historis kita. Alhasil, “sesuatu” yang menggerogoti kebudayaan kita.
Dengan isu "Kemitraan, Kerja Sama, dan Persaudaraan", kurikulum mengetengahkan skema baru hubungan umat manusia. Tata kelola Planet Bumi jangan lagi didasarkan pada konflik dan peperangan, tetapi kemitraan, kerja sama dan persaudaraan. Untuk isu "Keanekaragaman Hayati", kurikulum memberikan kejelasan pedagogi tentang fleksibilitas kehidupan di Planet Bumi yang ditentukan oleh terpeliharanya keanekaragaman hayati. Dalam kaitannya dengan isu "Keseimbangan Dinamis", kurikulum memberi penegasan terhadap arti penting kesetaraan. Artinya, tak ada variabel tunggal yang dimaksimalkan, sebab setiap variabel diberi ruang untuk memberikan kontribusi positif dalam kehidupan.
Kini sudah tak ada lagi waktu bertanya, apakah dunia pendidikan mampu menerapkan substansi kurikulum berorientasi ekologis. Kerusakan ekologis kini mengondisikan dunia pendidikan berada pada titik 'time of no return' untuk dengan segera mengimplementasikan kurikulum berorietasi ekologis. Pesan moral dari tulisan pendek ini jelas: institusi lain di luar pendidikan sudah tak bisa lagi diharapkan rela hati menyelamatkan Planet Bumi dari proses kehancuran yang lebih dalam. Baik institusi ekonomi maupun politik merupakan kekuatan yang tak pernah jedah merusak Bumi. Jika institusi pendidikan diam dan berpangku tangan, kepada institusi mana lagi penyelamatan Planet Bumi disandarkan?
 
Oleh: Muhammad Ja’far 

0 komentar:

Post a Comment