Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menunjukkan bahwa mayoritas kegagalan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) pada
ujian nasional tahun ini ada pada Bahasa Indonesia dan Matematika. Di kedua
mata pelajaran tersebut, banyak siswa yang memiliki nilai buruk. Ironisnya,
sebagian dari para siswa itu sekolah-sekolah di wilayah perkotaan, seperti ibu
kota provinsi atau ibu kota kabupaten/kota.
Tanpa mengabaikan beberapa perbaikan
pelaksaan dan prestasi hasil ujian tahun ini, data diatas merupakan bahan koreksi
diri untuk dunia pendidikan Indonesia. Terutama soal bahasa Indonesia. Buruknya
nilai bahasa Indonesia para siswa, menunjukkan ada sesuatu yang salah
didalamnya. Bukan hanya “didalam” sistem pengajaran bahasa Indonesia, tapi juga
bangsa ini secara keseluruhan.
Bahasa adalah fundamental ketahanan budaya
sebuah bangsa. Prestise kultural sebuah bangsa, dapat diukur dari bahasanya.
Harga diri sebuah bangsa ada pada bahasanya. Dan penghargaan sebuah bangsa
terhadap bahasa bangsa yang lain, paralel dengan penghargaan bangsa itu sendiri
terhadap bahasanya sendiri.
Bahasa juga jembatan historis. Pergerakan
sebuah bangsa menuju masa lalu dan masa depannya, memerlukan bahsa sebagai
penghantarnya. Akan terjadi keterputusan dengan masa lalu, ketika sebuah bangsa
tidak menjaga perbendaharaan bahasanya. Juga akan kesulitan untuk naik “kereta
(yang sedang menuju) masa depan”, jika sebuah bangsa tak mengantongi tiket
perjalanannya: bahasa.
Kesimpulannya, bangsa yang kehilangan
bahasanya, akan kehilangan harga dan jati dirinya, masa lalunya, sekaligus masa
depannya. Bangsa tanpa kebudayaan.
Data yang dirilis Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan hendaknya dilihat dalam perspektif ini. Bahwa ada sesuatu yang
salah dan harus segera dibenahi terkait dengan bahasa Indonesia di negeri ini.
Kenapa nilai bahasa Indonesia (dan
Matematika) yang anjlok?
”Kenapa Bahasa Indonesia dan Matematika,
harus kami analisis lagi,” demikian pandangan Direktur Jenderal Pendidikan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hamid Muhammad di
Jakarta, Kamis, 24 Mei 2012.
Benar. Fakta ini harus segera di analisis
dengan komprehensif dan tajam. Setidaknya, ada beberapa pandangan yang bisa
kita jadikan pertimbangan, dalam menganalisis fakta ini. Tapi, ini baru sekedar
tinjauan awal.
Pertama, mungkin ini bagian dari fenomena
ketergerusan budaya Indonesia oleh budaya luar. Surutnya pemahaman terhadap
bahasa Indonesia, yang terindikasikan salah satunya, dari jatuhnya nilai bahasa
Indonesia, menjadi petanda ketergerusan ini. Sebaliknya, dominasi dan hegemoni
bahasa asing semakin kuat. Ada kesalahpahaman dalam paradigma masyarakat kita.
Penguasaan bahasa asing tidak ditempatkan sebagai bagian dari visi global dan
interaksi budaya. Tapi lebih merefleksikan gejala inferioritas budaya lokal terhadap
global. Bahasa Indonesia disimbolkan sebagai keterbelakangan kultural dihadapan
semarak budaya asing.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menunjukkan bahwa ketidaklulusan bahasa Indonesia justru banyak terjadi di
daerah perkotaan. Kota menjadi salah satu simbol ketergerusan budaya.
Kedua, fenomena anjloknya nilai Bahasa
Indonesia juga bisa dilihat dari sudut pandang sistem pendidikan. Soal sistem
pengajaran bahasa Indonesia. Ditengah massifnya kegandrungan pada bahasa asing,
sistem pendidikan kita masih belum merespon baik fakta tersebut. Idealnya,
pendidikan meresponnya dengan melakukan revitalisasi dalam sistem pengajaran
bahasa Indonesia. Ini penting untuk menghindari terjadinya ketidakrelevanan
sistem pengajaran bahasa Indonesia dengan dinamika dan progresifitas realitas
kebahasaan.
Sistem pengajaran bahasa Indonesia harus
terus mengalami pembaharuan. Ini cara bahasa untuk mempertahankan eksistensi
dan relevansinya. Saat ini, sepertinya iswa lebih responsif terhadap sistem
pengajaran bahasa yang tidak formalistik. Yang lebih menekankan pada sisi
analitik, ketimbang tutorialistik.
Menarik untuk disimak fenomena yang
diistilahkan dengan “bahasa gaul”. Dalam perspektif tertentu, munculnya
fenomena tersebut dapat dibaca sebagai katalisator anak-anak remaja terhadap
perkembangan bahasa yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem pengajaran bahasa di
sekolah. “Bahasa gaul” menjadi semacam pelarian terhadap gairah mereka terhadap
formulasi bahasa yang responsif terhadap perkembangan zaman.
Secara tata bahasa, apa yang disebut dengan
“bahasa gaul” itu jauh dari kaidah-kaidah. Namun, para remaja sepertinya
mendapatkan kepuasan didalamnya. Karena selain sebagai bentuk pendobrakan
terhadap kebekuan dan kebakuan tata bahasa, juga perlawanan simbolik terhadap
sistem pengajaran bahasa yang stagnan.
Ketiga, secara politis, kita berada di era
transisi. Dari era Orba yang sentralistik, termasuk terhadap bahasa, menuju era
kebebasan. Proses transisi ini sepertinya belum dijalani dengan baik dalam
dunia kebahasaan kita. Jika sebelumnya bahasa sangat dikontrol oleh negara.
Maka di era kebebasan ini, belum terbangun sebuah cakrawala bahasa yang relevan
dengan aura kebebasan yang dihirup. Bahkan, pada beberapa sisi, terlihat
kesemerawutan berbahasa. Seperti simbol katarsisme kita yang lepas dari
represi. Mungkin, sebagaimana perpolitikan kita, bahasa Indonesia juga sedang
berjuang melewati era transisi. Era yang menyediakan kebebasan, tapi tetap
bervisi.
Jadi, kalau nilai ujian nasional bahasa
Indonesia pelajar kita masih banyak yang jelek. Maka, ini signal bagia seluruh
elemen pendidikan negeri ini. Sedang terjadi “sesuatu” dalam dunia bahasa kita.
Dan itu artinya, sedang terjadi “sesuatu” dalam jati diri, harga diri, dan
persepktif historis kita. Alhasil, “sesuatu” yang menggerogoti kebudayaan kita.
Dengan isu "Kemitraan, Kerja Sama, dan
Persaudaraan", kurikulum mengetengahkan skema baru hubungan umat manusia.
Tata kelola Planet Bumi jangan lagi didasarkan pada konflik dan peperangan,
tetapi kemitraan, kerja sama dan persaudaraan. Untuk isu "Keanekaragaman
Hayati", kurikulum memberikan kejelasan pedagogi tentang fleksibilitas
kehidupan di Planet Bumi yang ditentukan oleh terpeliharanya keanekaragaman
hayati. Dalam kaitannya dengan isu "Keseimbangan Dinamis", kurikulum
memberi penegasan terhadap arti penting kesetaraan. Artinya, tak ada variabel
tunggal yang dimaksimalkan, sebab setiap variabel diberi ruang untuk memberikan
kontribusi positif dalam kehidupan.
Kini sudah tak ada lagi waktu bertanya,
apakah dunia pendidikan mampu menerapkan substansi kurikulum berorientasi
ekologis. Kerusakan ekologis kini mengondisikan dunia pendidikan berada pada
titik 'time of no return' untuk dengan segera mengimplementasikan kurikulum
berorietasi ekologis. Pesan moral dari tulisan pendek ini jelas: institusi lain
di luar pendidikan sudah tak bisa lagi diharapkan rela hati menyelamatkan
Planet Bumi dari proses kehancuran yang lebih dalam. Baik institusi ekonomi
maupun politik merupakan kekuatan yang tak pernah jedah merusak Bumi. Jika institusi
pendidikan diam dan berpangku tangan, kepada institusi mana lagi penyelamatan
Planet Bumi disandarkan?
Oleh:
Muhammad Ja’far
0 komentar:
Post a Comment