skip to main |
skip to sidebar
Pas
rame-ramenya upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan di
alun-alun, Mat Coleng menggelepar di selokan. Dihajar bertubi-tubi oleh
jotos atos di kompleks perumahan MewahRumahIndah. Semua kepalan jotos
itu milik sembilan orang pembantu laki-laki di RT 234. Tentu saja tak
perlu diragukan lagi kwalitas jotosannya. Tanpa perhitungan mereka
hambur-hamburkan emosinya.
Semua jotos tepat sasaran. Tak
satupun yang meleset. Arahnya menuju ke empat titik. Perut – ulu
hati – dagu dan wajah Mat Coleng. Ia ketangkap basah mencuri ayam-ketawa
di rumah Pak Frans. Rumah yang lagi sepi hanya ditunggu oleh Monyol
pembantu laki-lakinya. Karena pemiliknya Pak Frans beserta keluarganya
sedang menghadiri ulang tahun cucunya di Jakarta.
Pagi itu
posisi matahari kira-kira sudah enam puluh derajat , tapi Monyol masih
enak-enakan molor. Barangkali ia merasa merdeka diberi kepercayaan oleh
majikannya untuk menunggu rumah selama seminggu. Atau mungkin karena
semalam ia kecapaian nonton dangdut sambil jogetan. Sehingga lampu teras
belum sempat dimatikan. Apalagi untuk menyapu halaman, aneka sampah
masih nampak bebas bertebaran di situ. Situasi dan kondisi Rumah Pak
Frans yang begini ini sudah sangat dipahami oleh Mat Coleng.
Namun kiranya sial nasib Mat Coleng. Perhitungannya meleset. Dikiranya
wilayah RT 234 akan sepi. Karena anggapannya semua warga akan
berbondong-bondong ke alun-alun menghormati upacara detik-detik
proklamasi. Ternyata tidak, terhadap upacaranya warga tak perduli, tapi
hiburannya yang dicari-cari.
Mat Coleng memang gampang masuk
halaman belakang rumah Pak Frans. Namun ironisnya Mat Coleng ketangkap
basah justru oleh pembantu rumah sebelahnya, bukan oleh Monyol. Mestinya
Monyol yang bertanggungjawab atas keamanan dan kebersihan lingkungan
rumah Pak Frans. Baik itu ada Pak Frans maupun tidak.
Mat
Coleng jadi bulan-bulanan bogem mentah. Kepalanya ditimpuk batu. Darah
mengucur dari unyeng-unyengnya. Mulutnya merot mringis kesakitan.
Tubuhnya diseret, lalu dilempar ke got yang mampet. Walhasil , darah
segar bercampur pcerren menghias wajahnya. Tapi ia sangat tabah. Tak ada
rintihan. Apalagi suara tangisan.
Mat Coleng pantang minta
ampun. Ia takut ditertawakan. Menurutnya tertawa itu identik dengan
rasa senang. Sehingga dikawatirkan kebablasan. Alasan menggebug bisa
bergeser menjadi tidak jelas. Bukan lagi soal maling ayam. Tapi
menggebug rame-rame demi kesenangan rame-rame. Ini yang dikhawatirkan.
Ia menghindari itu.
Agar masalahnya tak ikut semakin bengkak,
Mat Coleng tak sudi untuk menjerit minta ampun. Ia waswas kalau
digebugin sambil ditertawakan. Ini akan lebih menyakitkan. Bisa gak
selesai-selesai urusannya. Padahal sebenarnya kalau seumpama Mat
Coleng pintar berpura-pura mati misalnya atau hampir mati, mungkin saja
ada yang iba. Bahkan bisa jadi mereka ketakutan sendiri.
Hanya
telungkup pasrah yang bisa ia lakukan. Melawan berarti ulo marani
gebug. Mat Coleng tak mau itu. Wajahnya hitam lebam. Dua matanya sudah
tenggelam. Tapi masih mampu mengeluarkan sorot api dendam yang tak
terukur. Ia berusaha menghapal satu-persatu wajah pemilik jotos itu.
Musti ada perhitungan cerdas. Mengalah untuk menang. Lain hari, suatu
saat nanti , entah kapan dan dimana, pokoknya harus ketemu. Satu lawan
satu, jangan main keroyokan , dada Mat Coleng mendidih. Terutama kepada
yang disebut-sebut bernama Monyol.
Harga ayamnya memang tak
seberapa dibanding harta kekayaan pak Frans. Tapi bagi Mat Coleng, kalau
dijual itu sudah bisa menghidupi 3 nyawa di rumahnya. Paling tidak
untuk sebulan. Namun bagi warga, persoalannya bukan itu. Mencuri apapun
ya tetap mencuri. Tidak dibenarkan oleh norma yang manapun.
Tak ada yang mau melerai. Mungkin takut dianggap membela maling. Atau
menganggap maling ketangkap adalah hiburan gratis yang perlu dinikmati.
“ Pateni..…pateni…..!, bunuh..….bunuh..….!,
jantur..…jantur…!, moddyar…..moddyar….!”, kata Jaimo yang sejak awal
tidak memanfaatkan kepalannya. Hanya mulutnya yang gemuruh.
Coleng belum menemukan wajah Jaimo. Orang ini menjadi catatan batin
Coleng. Untuk yang banyak ngomong dan banyak memukul terutama Monyol,
dengan gampang Coleng menghapal wajahnya. Ini tantangan dan penghinaan
sekaligus kesewenang-wenangan, pikir Mat Coleng. Wajah Monyol terus
diingat mata Mat Coleng. Besuk kalau aku sudah merdeka , kamu tak
habisi, cita-cita Mat Coleng.
Sementara ada juga yang tanpa
ngomong. Tapi dalam semenit uppercut-nya bisa tujuh kali menabrak dagu
Mat Coleng. Bila dilihat dari perawakannya, Mat Coleng tak percaya kalau
orang yang kurus-pucat itu ternyata rajin memberinya upper-cut. Ini
mungkin tipe manusia pembunuh berdarah dingin. Orang macam ini di
lingkungan preman sering disegani. Kadang malah dijadikan pemimpinnya.
Aku harus waspada dia besok, pikir Mat Coleng.
Mat Coleng
masih nglesot di selokan. Kepalanya lunglay tertunduk layu. Ia tak
berani menatap sembilan orang yang berdiri mekangkang di hadapannya di
atas got. Meski terlambat , tiba-tiba seorang satpam kompleks perumahan
datang. Ia menyibak kerumunan. Berdiri lurus ia di atas Mat Coleng.
Sorot matanya tak terlihat macam apa. Apa marah apa kasihan. Kerna ia
pakai kacamata hitam.
“ Bawa ke kantor polisi “, katanya sambil nuding-nuding.
Mat Coleng sedih mendengarnya. Kerna ia belum punya
pengalaman di sana. Tapi ia juga berharap. Dari pada disini, beban
pukulan bisa bertambah setiap detik, pikirnya. Kalaupun toh masih harus
digebugi lagi sama pak pulisi, mudah-mudahan pak polisi pakai ukuran
yang pas.
“ Dibawa pakai apa ? “, kata salah seorang.
“ Seret aja pake motor nih ada dadung “, kata yang lain.
Satpam diam. Dia bingung. Mau diboncengin pakai motor bisa resiko.
Siapa tahu maling ayam ini tiba-tiba mencekik leher dari belakang.
Nyalinya terganggu juga. Sebab bekerja sebagai satpam bukan karena
cita-cita. Tapi karena nasib. Kebetulan lewat di situ pick-up bak
terbuka habis mbongkar pasir. Apa boleh buat. Dengan ragu-ragu distopnya
pick-up bak terbuka.
“ Tolong mas, bawa maling ke polsek “, katanya.
Supir mengangguk. Nampaknya terpaksa tidak berani menolak. Enam orang mengawal Coleng menuju Posek dipimpin satpam.
Mobil melewati alun-alun. Di situ lagi ramai peringatan detik-detik
proklamasi. Coleng menangis. Satpam heran mengapa maling ini baru nangis
sekarang, kok gak dari tadi-tadi waktu digebukin. Ternyata Coleng
menangis bukan karena kesakitan. Ia terharu teringat cerita neneknya.
Bahwa dulu kakeknya ikut berjuang di masa revolusi. Nyawanya
disumbangkan untuk kemerdekaan. Mestinya aku ikut mengheningkan cipta.
Mendoakan kakek dan kawan-kawannya. Tapi aku malah nyolong ketangkep.
Mat Coleng semakin sesenggukan. Terbayang wajah isteri dan dua anaknya
masih kecil-kecil di rumahnya.
“ Keterlaluan kamu. Ini hari
yang sakral bagi Bangsa Indonesia. Kamu malah berbuat yang sangat-sangat
tercela “, kata Pak Polisi dengan geram.
Coleng tertunduk
bisu. Ia menggaruk-garuk darah yang mulai mengering di pelipisnya. Ada
secuil rasa sesal di balik pelipisnya. Tapi itu sudah tidak berguna.
Padahal menurutnya semua ini sudah dilakukannya melalui perhitungan
yang matang. Karena selain melalui pengamatan yang cermat, juga sudah
sesuai dengan petunjuk primbon yang dimilikinya. Aku tidak bermaksud
menodai, apalagi tidak menghormati hari kemerdekaan, kata Coleng dalam
hati.
Di kantor polisi Coleng semakin tak berkutik. Coleng
langsung dikerangkeng sesuai prosedur. Menurut infonya, sejak dua bulan
terahir Coleng memang masuk dalam target sasaran. Tetapi polisi tidak
mau gegabah asal tangkap. Hari ini saksi dan barang bukti sudah lengkap
ada. Tinggal mengorek lebih lanjut.
“ Terima kasih bapak-bapak
telah membantu kami sebagai aparat. Jadi terbukti jelas ya pak, bahwa
keamanan itu tidak hanya semata-mata menjadi tanggung jawab polisi. Tapi
juga tanggung jawab masyarakat. Seperti yang telah bapak-bapak lakukan
ini. Semua ini akan kami tindak lanjuti sesuai prosedur hukum yang
berlaku. Kiranya bapak-bapak sudah bisa meninggalkan Coleng di sini.
Untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab kami, terima kasih “, kata Pak
Polisi mantap kepada satpam dan kawan-kawan.
Dua pagi
berikutnya Pak Frans pulang dari Jakarta. Rumahnya kembali ramai
didatangi warga yang telah menangkap basah Mat Coleng.
“ Kalau gak ada saya , maling itu sudah mati digebugin warga pak “, kata Satpam kepada Pak Frans.
“Untung ada saya pak “, kata Monyol menyela, “ kalau tidak , mungkin
maling itu sudah mendongkel pintu rumah dan menguras segala isinya “.
Semua mata memandang ke arah Monyol.
“ Iya ya. Terima kasih
bapak-bapak telah ikut menjaga rumah ini selama saya dan keluarga ada di
Jakarta “, kata Pak Frans sambil menyilahkan semua tamunya menikmati
oleh-olehnya dari Jakarta.
Sore harinya Pak Frans mendatangi
kantor polisi. Wajahnya kelihatan murung. Ia percaya tak percaya Mat
Coleng mencuri ayam-ketawanya.
“ Selamat sore pak “, kata Pak Frans kepada Pak Polisi.
“ Selamat sore, ada yang bisa saya bantu ? Bapak dari mana ? “, sambung Pak Polisi ramah.
“ Saya Frans pak, mau menanyakan masalah Mat Coleng yang tempo hari
mencuri ayam di rumah saya, dan sudah diserahkan ke sini oleh tetangga
yang menangkap basah “.
“ O ya pak, kebetulan bapak hadir ke
sini. Ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan dengan Pak Frans “,
kata Pak Polisi mewawancarainya.
Ada beberapa pertanyaan yang
harus dijawab Pak Frans terkait peristiwa itu. Lama-lama bosan juga ia
ditanya macam-macam terus menerus. Hati kecilnya ingin bertemu Mat
Coleng. Seperti apa dan bagaimana kondisinya saat ini.
“ Sebenarnya maksud saya datang ke sini begini pak “, kata Pak Frans.
“ Bagaimana ?! “.
“ Saya sama sekali tidak keberatan, dan ikhlas sepenuhnya ayam-ketawa
saya diambil oleh Mat Coleng. Malah kalau perlu saya tambahi dengan
ayam-alas saya pak. Sungguh pak. Saya mohon Pak Polisi bisa membebaskan
dia pak “.
“ Lo…lo…lo.... kok begitu ?! “.
“ Iya pak “.
“ Dia kan maling yang sudah mencuri di rumah Pak Frans “.
“ Tapi saya kasihan sama Mat Coleng pak. Hanya soal ayam yang harganya
tak seberapa, dia dan keluarganya jadi menderita. Kan kasihan pak. Saya
merasa ikut berdosa pak “.
“ Ini bukan soal ikhlas dan kasihan
Pak Frans. Ini soal pidana pak, soal hukum. Kami ini aparat penegak
hukum yang harus melaksanakan penegakan hukum. Bukti dan saksi sudah
lengkap pak. Barangkali juga ada kriminalitas dan pidana lain yang
mungkin terkait dengan Mat Coleng pak. Ini perlu kami telusuri “.
“ Maaf pak, niat saya datang ke sini bukan untuk berdebat. Saya hanya
mohon agar Mat Coleng dibebaskan. Karena saya merasa ikhlas, dan sama
sekali tidak keberatan dia mencuri ayam-ketawa saya pak “.
“Jadi Pak Frans melindungi maling ?! Ini ada hukumnya juga pak “.
Pak Frans diam. Semangatnya untuk membebaskan Mat Coleng jadi
mengkerret. Takut juga ia dianggap melindungi maling. Keinginannya untuk
bertemu Mat Coleng di sel tahanan semakin menggelitik nuraninya. Tapi
ia merasa lebih baik jangan sekarang. Ada hal lain yang juga penting
harus kulakukan, pikirnya.
Keluar dari kantor polisi mobil Pak
Frans berhenti di depan super market. Dibelinya sekantong beras sepuluh
kilogram, telur ayam dua kilogram, kecap dua botol , sarden dua kaleng,
gula kopi dan teh secukupnya, serta rokok kretek lima bungkus. Semua
belanjaannya dimasukkan dalam satu dus, kecuali rokok yang dipisah. Ia
langsung tancap gas menuju rumah Mat Coleng.
Tahu yang datang
Pak Frans, isteri Mat Coleng gemetar ketakutan. Ia menangis menguras air
matanya. Dari bibirnya terucap permohonan maaf berkali-kali. Ke dua
anaknya yang masih ingusan turut meramaikan tangis ibunya. Banyak
tetangga yang melihat kedatangan Pak Frans. Mereka diam-diam mengintip
dengan caranya masing-masing. Pak Frans tahu ini. Rasanya risi juga
diintip banyak orang. Hingga ia tak ingin lama-lama di rumah Mat Coleng.
“ Sudah………sudah…..….jangan menangis………..kasihan
anak-anakmu……aku gak papa…soal ayam aku ikhlas….., ini sekedar untuk
keperluan anak-anakmu…”, kata pak Pak Frans sambil menyerahkan dus
belanjaannya dan dua lembar ratusan ribu.
Iapun terus pamit
berlalu sambil bergantian memegangi ubun-ubun kedua anak kecil itu.
Isteri Mat Coleng semakin tenggelam ke dalam tangisnya. Ia bersimpuh di
lantai tanah rumahnya. Di luar angin bertiup menciumi wajah Pak Frans.
Besuk siangnya Pak Frans datang lagi ke kantor polisi. Ia masih ingin
melunasi hajatnya menengok Mat Coleng yang meringkuk di sel tahanan. Pak
Polisi geleng-geleng kepala melihat Pak Frans menyerahkan lima bungkus
rokok kretek kepada Mat Coleng.
“ Terima kasih Pak Frans , saya sungguh-sungguh mohon maaf telah mencuri di rumah Pak Frans “, kata Mat Coleng sedih.
“ Sudahlah jangan bicarakan itu lagi, yang penting ini harus menjadi
pelajaran berharga bagi kamu. Hadapi saja semuanya ini dengan penuh
tanggung jawab. Anak dan isterimu akan baik-baik saja, kamu gak usah
kuatir. Besok-besok kalau kamu sudah bebas temui aku “, kata Pak Frans.
Pikiran Pak Frans melayang-layang ke masa lalu. Ia teringat almarhum
Pak Jumar ayah Mat Coleng yang telah menyelamatkan nyawanya dari
kecelakaan tunggal yang dialaminya waktu itu.
Kabar mengenai Pak Frans yang ingin membebaskan Mat Coleng segera menyebar di lingkungannya. Isterinya ngomel-ngomel.
“ Bapak ini gimana sih….? Maling kok dilindungi ! Keluarga maling
malah disantuni ! Maling ya maling pak ! Harus dihukum seberat-beratnya !
“.
“ Sudahlah “, kata Pak Frans lembut. “ Soal Mat Coleng
sebagai maling, bapak jamin setelah ini dia pasti akan kapok dan sadar
sesadar-sadarnya untuk menjadi orang yang baik “.
“ Itu kan urusannya dia. Mau jadi perampok apa mau jadi kiyai ya terserah dia to ! “.
Pak Frans diam. Ia tak mau terperosok lebih dalam adu mulut dengan
isterinya. Yang penting aku jangan memicu kemarahannya lebih panas lagi,
pikir Pak Frans. Pak Frans sangat memahami isterinya. Jangankan
menyantuni keluarganya maling, menyumbang ke panti sosial saja ia harus
sembunyi-sembunyi. Aku kehilangan setengah juta juga tak akan jadi
miskin banget, nemu setengah juta juga tak akan jadi kaya raya banget.
Mau berbuat baik saja kok susah , batin Pak Frans.
Malam
harinya serombongan warga sekitar menemui Pak Frans. Mereka protes keras
hampir saja demo. Terutama Pak Ketua RT 234 yang terus berpidato.
Untung Pak Frans bisa menempatkan diri dengan bijak.
“ Maaf Pak
Frans “, kata Pak Ketua RT 234. “ Kami protes keras. Kami ini sudah
bersusah-payah menjaga keamanan dan ketenteraman di wilayah kita ini. E…
malah Pak Frans tidak menghargai jerih payah kami. Saya tahu, Pak Frans
orangnya baik. Tapi itu tidak mendidik pak ……….,“.
Pak Frans
diam. Ia melihat dan menganalisa situasi agak sensitif. Ini sudah sumbu
pendek, pikirnya. Ia tahu semuanya sangat semangat. Semuanya ingin dan
akan ngomong menghujatnya. Pak Ketua RT saja masih koma belum titik,
pikir Pak Frans.
“ Kami menghormati Pak Frans. Meski kami
tidak sepaham dengan Pak Frans. Silahkan kalau Pak Frans mau membebaskan
Coleng dari pidana pencurian ini. Wong itu ayam juga ayamnya Pak Frans
kok. Silahkan kalau Pak Frans mau nyantuni keluarganya Coleng. Itu bagus
dan baik. Itu urusannya Pak Frans. Tapi jangan halangi kami. Kami juga
punya hak untuk menuntutnya ke pengadilan. Perbuatan Coleng sangat tidak
menyenangkan bagi kami walaupun kejadiannya di rumah Pak Frans. Bisa
saja lain waktu Coleng nyuri di rumah kami-kami ini. Mula-mula ayam,
seterusnya bisa saja nyuri motor dan apa saja. Kesimpulannya Coleng
telah meresahkan kami semua. Kami tetap akan menuntutnya. Dia pantas
dihukum“.
Pak Frans memahami apa kata Pak Ketua RT. Tapi kali
ini ia tidak ingin diam saja. Ia juga ingin bicara sebisa-bisanya. Biar
tidak semata-mata mati kutu di hadapan para pembantu rumah tangga
sekitarnya. Namun ia tidak tahu harus bicara mulai dari mana.
Keinginannya bicara semakin menusuk-nusuk dadanya. Ahirnya terbuka juga
mulut Pak Frans.
“ Pak Ketua RT dan bapak-bapak semuanya yang
saya hormati. Saya terima kasih bapak-bapak telah datang ke sini. Dan
ini sudah saya perkirakan. Pasti bapak-bapak tidak akan suka dengan apa
yang telah saya lakukan dalam menyikapi Mat Coleng yang telah mencuri di
rumah saya. Nah sekarang bapak-bapak sudah di sini semuanya, saya tidak
perlu mendatangi bapak-bapak satu-persatu untuk menjelaskannya, terima
kasih. Saya akan menjelaskannya mengapa itu saya lakukan ….. “, kata Pak
Frans berhati-hati dan mengulur-ulur waktu agar emosi masing-masing
bisa agak reda.
“ Saya juga hanya akan menirukan dan
ngikuti saja apa yang tadi telah dikatakan oleh Pak Ketua RT.
Bapak-bapak silahkan menuntut sesuai dengan keinginan bapak-bapak. Saya
sama sekali tidak akan menghalang-halangi upaya itu. Apa yang telah saya
lakukan semata-mata hanya karena dorongan kemanusiaan saja. Khusus
antara manusia Frans dengan manusia Coleng yang saya anggap bisa
mewakili seorang manusia lainnya yaitu almarhum bapaknya. Maaf lo
bapak-bapak….. saya tidak berarti mengatakan bapak-bapak tidak punya
perikemanusiaan. Saya pernah punya hutang nyawa kepada almarhum Pak
Jumar bapaknya Mat Coleng. Bapak-bapak masih ingat kan ketika itu saya
mengalami selip di bukit seribu. Sebagai manusia biasa saya hanya
sekedar mengikuti dorongan hati nurani saya saja. Saya sudah berusaha
mengikuti dorongan rasa kemanusiaan itu. Saya puas pak meskipun itu
nanti mungkin tidak berhasil. Bapak-bapak boleh tidak sependapat dengan
saya. Tapi bapak-bapak tidak boleh melarang saya untuk berpendapat.
Sekali lagi saya mohon maaf “, kata Pak Frans dengan raut wajah penuh
ikhlas dan pasrah.
Semuanya nampak diam. Pak Ketua RT hanya
manggut-manggut. Di sampingnya Jaimo berbisik ke telinga Pak Ketua RT.
Pak Ketua RT menyikut lengan Jaimo. Sikutan Pak RT ini diartikan oleh
Jaimo kalau Pak Ketua RT setuju jika Jaimo ikut buka suara.
“
Kalau begitu begini saja “, kata Jaimo tegas. “ Masalah keamanan di RT
234 tetap kita sikapi seperti apa adanya. Tapi khusus untuk keamanan
wilayah rumah Pak Frans biarlah itu menjadi tanggung jawab Pak Frans dan
Monyol saja. Kami khawatir ada lagi kejadian seperti ini. Namun
demikian, kewajiban Pak Frans sebagai warga yang baik, kalau-kalau RT
kita membutuhkan dana, Pak Frans ya tetap selaku donatur-tetap “.
“ Sudah…. sudah…. selesai…. selesai…. cukup…. cukup….. bubar… bubar……
“, kata Pak Ketua RT dengan muka kecut. “ Kita sudah sama-sama
mendengar tadi penjelasan Pak Frans. Terima kasih Pak Frans. Kami bisa
memahami. Tapi kami juga tetap akan menuntut. Kami permisi dulu “, kata
Pak Ketua RT menyalami Pak Frans terus keluar diikuti rombongannya.
Waktu terus berlalu. Ahirnya palu hakim memutuskan untuk mengirim Mat
Coleng ke penjara selama empat bulan potong tahanan. Ruang pengadilan
jadi gegap-gempita oleh sorak-sorai warga RT 234.
Di penjara
Mat Coleng enjoy-enjoy saja. Hatinya selalu gembira. Sebab ia tak pernah
kehabisan rokok. Lebih penting dari itu, ia tidak perlu kuatir
keberadaan keluarganya di rumah. Dua anaknya dan satu isterinya dijamin
pasti tidak akan mati kelaparan. Banyak teman dan pengalaman baru ia
dapatkan di dalam penjara. Semua itu terekam dengan baik di otaknya.
Iapun sempat termenung.
“ Ternyata aku lebih merdeka di
penjara ini dari pada di rumah. Di rumah setiap waktu aku selalu
diinjak-injak oleh keinginanku sendiri untuk membahagiakan anak-anakku
dan isteriku. Di sini aku juga bisa berguru memperdalam segala macam
ilmu. Ilmu apa saja bisa kupilih. Tinggal aku salah pilih apa benar
pilih. Pilihanku benar-benar hanya akan ditentukan oleh kemerdekaanku
memilih. Disini aku merdeka untuk mengajar dan menghajar diriku sendiri
“.
Hingga pada suatu pagi yang cerah. Mat Coleng disalami oleh
para sipir dan narapidana lainnya. “ Selamat, mulai hari ini kamu sudah
merdeka “, kata sipir menepuk bahu Coleng. Seperti terpaksa ia harus
meninggalkan penjara. Ada perasaan sedih yang tak dimengertinya. Juga
beban rindu kepada anak dan isterinya di rumah.
Mat Coleng
ingat semua pesan Pak Frans. Aku harus ke sana sekarang juga, katanya
kepada dirinya sendiri. Dua kakinya semakin mendekati tujuan. Ia dengar
suara kokok ayam-ketawa dan ayam-alas bersahut-sahutan begitu merdunya.
Diliriknya lampu teras tidak menyala. “ Pasti Pak Frans ada di dalam.
Mungkin Monyol juga ada “, pikirnya.
Coleng langsung nyelonong
lewat pintu samping. Garasi belakang nampak kosong. Coleng simpulkan
pemilik rumah pasti lagi pergi. Tapi kenapa pintu dapur terbuka
separo. Ia yakin Monyol ada di dalam. Ini kesempatan emas untuk balas
dendam, pikir Coleng. Ia ingin Monyol segera keluar.
“ Permisi “, kata mulut Coleng sambil mengepalkan tangan.
Ia selangkah di depan pintu dapur. Mulutnya terkatup rapat. Tarikan
napasnya panjang-panjang. Tak ada jawaban. Diulanginya lagi kata
permisi, juga tak ada jawaban. Hanya suara kokok ayam-ketawa yang
menjawab.
Coleng tak ingin kedatangannya ini tak berguna. Tanpa
sadar ia dekati ayam-ketawa dan ayam alas yang kurungannya
bersebelahan. Sangat lancar ia keluarkan sekaligus dua unggas itu.
Dengan tenangnya Coleng melangkah sambil menggendong dua hewan itu
keluar.
Di jalan Coleng berpapasan dengan Jaimo. Coleng sudah
tekad bulat untuk nekad. Sekarang satu lawan satu. Kamu macem-macem kamu
mati aku masuk penjara lagi, gak papa, kata hati Coleng. Coleng melirik
sambil mengangkat dagunya. Ternyata Jaimo diam saja. Sebab di kepala
Jaimo tumbuh subur rasa kagumnya kepada Pak Frans, “ baik bener orang
itu, telah menepati janjinya “, kata ubun-ubun Jaimo. Coleng-pun
melenggang pulang dengan merdeka.*** ( Wsb 300113 )
Posted By:Rasjid Daljatmo
0 komentar:
Post a Comment