skip to main |
skip to sidebar
Di
kampung nama bekennya Pak RW. Singkatan dari Raharjo Wibowo. Kebetulan
Pak RW ini juga Ketua RW 100. Asal-muasalnya ia terpilih menjadi Ketua
RW hanya gara-gara namanya, yang kalau disingkat sudah berinisial RW.
Sehingga warga tak mau repot-repot menentukan siapa yang akan dipilih
menjadi Ketua RW. Sebab memang bukan perkara yang gampang mencari figur
Ketua RW. Bukan karena persaratannya yang susah. Tapi memang karena
penggemarnya yang gak ada. Semua itu terjadi diawali keisengan dan
kejailan yang provokatif oleh segelintir anak-anak muda. Jadilah Pak RW
menjadi Ketua RW 100. Sebenarnya enggan juga ia menjadi Ketua RW. Tapi
ia tak kuasa menolak tekanan halus dari warga. Itu terjadi 8 tahun yang
lalu.
Sore ini Pak Ketua RW merasa puas dan bangga. Pasalnya
di luar dugaannya , antusiasme warga memperingati HUT Proklamasi tahun
ini terbilang sukses. Kampung jadi meriah. Merah putih berkibar di
seantero RW 100. Walau dengan dana yang terbatas, semangatnya sungguh
luar biasa. Dari lomba untuk anak-anak sampai untuk kakek-kakek
semuanya dipandegani oleh anak-anak muda. Orang-orang tua duduk manis
saja. Tinggal menikmati hasil kerja keras anak-anak muda. Dari lomba
yang bersifat umum hingga yang bernuansa agamis, semuanya berjalan
lancar. Dari pagi – siang – sore bahkan hingga malam. Selama hampir
seminggu ini wilayah RW 100 tak pernah sepi. Ini menjadi kenikmatan
tersendiri bagi semua warganya. Terutama bagi anak-anak muda.
Pak Ketua RW banyak menaruh harapan kepada potensi anak-anak muda itu.
Mereka para muda sebagai tunas bangsa telah menghargai jasa pahlawannya.
Jiwa nasionalismenya nampak terlihat di moment peringatan HUT RI tahun
ini. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, melempem. Pak Ketua RW yakin ;
diantara mereka kelak akan ada yang menjadi sosok pemimpin besar.
Tidak mustahil , nantinya akan ada yang menjadi kepala desa, apa
camat, apa gubernur , apa bupati, apa walikota, apa ketua partai
politik, anggota DPR, atau bahkan mungkin menjadi presiden. Tapi
setidak-tidaknya , suatu saat nanti , diantara mereka pasti ada yang
akan menjadi Ketua RT dan Ketua RW, pikir Pak Ketua RW.
Namun
sayang disayang. Tak berselang lama usai kemeriahan HUT RI, kebanggaan
Pak Ketua RW terhadap anak-anak muda jadi ternoda. Ibarat panas setahun
diporak-porandakan oleh hujan setengah hari. Pak RW selaku Ketua RW
merasa malu yang tak terbayangkan. Malu kepada dirinya sendiri. Malu
kepada masyarakat warganya sendiri. Gara-gara di telinganya hinggap
informasi adanya 2 orang anak gadis warganya yang hamil serempak
sebelum nikah. Ironisnya , keduanya tergolong pemudi yang kalem dan
lemah gemulai. Mereka di kampung tidak pernah ada masalah. Sedangkan
anak-anak gadis yang sepertinya bringasan dan tidak punya unggah-ungguh
malah tidak hamil.
Tidak hanya masalah hamil diluar nikah
saja yang merobek-robek kebanggaan Pak Ketua RW. Satu per-satu warganya
melapor adanya kejadian kemalingan. Yang ayam, yang bebek, yang angsa,
yang makanan di warung, bahkan sampai sandal jepit di teraspun banyak
yang dimalingi. Hati Pak Ketua RW miris serasa diiris-iris. Dia semakin
prihatin. Setiap pagi gampang ditemukan botol minuman keras berserakan
di sembarang tempat di wilayah kekuasaannya. Malah katanya, pernah ada
yang menemukan kondom bekas bercampur dengan kupon togel. Lengkaplah
sudah kebobbrokan ini, batin Pak Ketua RW prihatin.
Kampung
kita kondisinya sudah rusak berat bu, kata Pak Ketua RW kepada
isterinya. Bu RW cuma senyam-senyum mendengarnya. Karena
kemaren-kemaren masalah itu sudah didengarnya di forum ngrumpi ibu-ibu.
Bapak ketinggalan jaman, batin bu RW. Pak Ketua RW terus saja nrocos
berkobar-kobar.
“ Ini tidak bisa ditolerir bu. Apalagi
dibiarkan berlarut-larut. Harus ditemukan akar permasalahannya. Apakah
etika dan norma sosial di sini sudah sekarat ya ? Mungkin orang tua yang
salah. Mungkin anak muda yang kebangeten. Mungkin orang tua sudah tak
punya wibawa. Mungkin para ketua RT juga sudah salah. Kurang pengawasan
terhadap lingkungannya. Atau bisa jadi… , mungkin aku sendiri sudah
dianggap lenyap tidak ada “. Pak Ketua RW limbung. Isterinya kembali
senyum-senyum.
Pak Ketua RW mencoba merekonstruksi kembali
ingatannya ke masa lalu. Sebelum menjadi Ketua RW seperti apa.
Seingatnya , kejadian hamil di luar nikah di wilayah RW 100 sepanjang
jaman belum pernah terjadi. Sekarang kejadian itu meledak bak bom waktu.
Sedihnya justru terjadi di masa kepemimpinannya. Inilah yang bikin Pak
RW selaku pribadi maupun sebagai Ketua RW jadi tersiksa batin.
Malam harinya Pak Ketua RW tak bisa tidur. Wajahnya buram dan murung meratapi nasib aib yang menimpa wilayahnya.
“ Ini jelas mencoreng mukaku sendiri “ , pikir Pak Ketua RW penuh
tanggung jawab. “ Mengapa dan bagaimana sebenarnya semua itu bisa
terjadi ? Yaaa… biarlah, yang sudah biarlah sudah. Cukup. Cukup menjadi
sejarah yang payah. Titik. Yang penting bagaimana ke depan
mengantisipasinya. Sejarah brengsek jangan lagi terulang. Sebodoh-bodoh
keledai tak kan terantuk pada batu yang sama “.
Pak Ketua RW
mencoba mencari jalan keluarnya. Ia berusaha membuat solusinya. Hingga
jam tiga pagi konsep-konsep itu baru sempat disimpannya di otaknya. Pak
Ketua RW tersenyum lega. Setelah itu kedua matanya baru bisa dipejamkan.
Esok harinya Pak Ketua RW bangun kesiangan. Bangun tidur ia
langsung nongkrong di meja kerjanya. Ia minta segelas kopi. Bolpoin di
tangan kanannya menari-nari di atas kertas HVS, sementara dahinya
berkerut.
“ Sudah jam delapan lho pak “, kata bu RW yang sejak tadi mengamati suaminya.
“ Hari ini bapak prei dulu bu, barusan aku sudah sms pamit ke Pak Bejo “.
“ Memangnya bapak mau ada acara apa pak ? “.
“ Ini darurat bu, mumpung masih anget nyantol di otak “.
“ Memang apanya yang nyantol ? Kok gawat ! “.
“ Ini lho, bahan rapat medadak untuk nanti malem “.
“ Rapat apa si pak ? Dimana ? “.
“ Rapat musyawarah terbatas. Membahas Rancangan Peraturan Tata Tertib
Dan Ancaman Pelanggaran Terhadap Tata Tertib RW 100 “, kata Pak Ketua RW
puas.
“ O…., rapatnya dimana ? “.
“ Ya di sini , minimal 7 orang maksimal 10 orang“.
“ Walah pak.., hobbinya kok ropat-rapat terus. Agustusan tempo hari
saja sebagian uang belanja sudah nyangkut ke sana pak. Ini tanggal tua
pak. Mbok di tempat lain. Memangnya digaji berapa sih jadi Ketua RW ?!
Kok ya gak kapok-kapok jadi Ketua RW ?! Salah sedikit jadi besar –
kalau benar besar dianggap wajar. Kan masih banyak orang lain yang bisa
jadi Ketua RW ! “ , kata bu RW sambil berlalu menyeret sapu ijuk ke
dapur.
Pak Ketua RW pura-pura tak mendengarnya. Ia kembali
konsentrasi ke meja kerjanya. Hingga jam sebelas lebih konsep itu baru
kelar. Ia tinggal menunggu Sapto anaknya pulang dari sekolah SMK
Informatika. Perlunya untuk diperintahnya ngetik di computer dan
memperbanyaknya. Tak lupa Pak Ketua RW sms kepada para ketua RT dan
ketua pemuda setempat sebagai undangan rapat nanti malam .
Jam setengah Sembilan rapat baru bisa dimulai. Pak Ketua RW menarik napas panjang, lalu katanya ;
“ Bismillahirrahmannirrahim. Assalamualaikum warahmatulla hi
wabarokatuh. Bapak-bapak yang saya hormati. Semoga Allah Swt Tuhan Yang
Maha Esa senantiasa meridhoi serta memberkahi hidup dan kehidupan kita
bersama. Amin ya robbal alamin. Alhamdulillah dan terima kasih
bapak-bapak telah meluangkan waktu dan bisa hadir semuanya. Saya ucapkan
selamat datang dan mohon maaf undangannya mendadak lewat sms. Adapun
agenda kita malam ini adalah membahas situasi dan perkembangan kondisi
terkini yang ada di wilayah kita. Untuk menyikapinya saya berinisiatif
menawarkan konsep tertulis kepada bapak-bapak sebagaimana telah
bapak-bapak terima. Mohon maaf bapak-bapak sekalian. Saya tidak berniat
mau gagah-gagahan. Ini semua atas nama tanggungjawab saya. Konsep saya
ini saya susun semampu saya. Tentu saja masih ada banyak hal yang perlu
disesuaikan dengan sikon dan selera disini.
Saya berharap
musyawarah kita malam ini senantiasa mendapatkan bimbingan Tuhan Yang
Maha Esa. Dan bisa menghasilkan keputusan hasil musyawarah yang terbaik
untuk kampung kita tercinta ini. Untuk itu marilah musyawarah ini kita
awali - kita buka bersama-sama dengan membaca basmallah . Bismillah
hirrahmannirrahim. Selanjutnya secara berurutan nanti dari pak Ketua RT 1
sampai 5 dan yang terahir nanti ketua pemuda saya mohon dengan hormat
agar memberikan tanggapan dan masukannya. Bebas saja, ini demokrasi.
Itu barangkali bapak-bapak beberapa hal penting telah saya sampaikan.
Namun sebelumnya, forum ini saya skores dulu agar kita tidak spaneng.
Sekalian sambil menunggu sekedar hidangan. Wassalamu’alaikum
warahmatulla hi wabarokatuh “, Pak RW mengahiri pidato awalnya terus
membuka bungkus rokoknya.
Ditunggu-tunggu hidangan belum juga
muncul. Pak Ketua RW masuk ke dalam rumah. Hidangan memang sudah
tersedia , tinggal mengeluarkan. Hanya saja Pak Ketua RW tidak menemukan
isterinya disitu. Demikian juga Sapto anaknya entah kemana. Ahirnya Pak
Ketua RW sendiri yang mengeluarkan hidangan itu.
“ Bapak-bapak yang saya hormati, skores saya cabut. Monggo yang pertama Pak Ketua RT 1 menyampaikan pendapatnya “.
“ Terima kasih pak. Ini langsung saja. Sekilas saya sudah membaca
rencana tata-tertib ini. Tapi saya sebagai Ketua RT 01 harus
bermusyawarah dulu dengan warga RT 01. Saya belum bisa komentar sekarang
. Terserah nanti pendapat warga. Akan saya laporkan secepatnya. Terima
kasih “.
Ternyata ketua RT 02 - 03 - 04 dan 05 mengekor saja
apa yang disampaikan oleh ketua RT 01. Ketua RT 03 pamit tidak hadir.
Katanya lagi mencret-mencret. Tapi ada yang mewakili. Sekarang giliran
ketua pemuda menyampaikan pendapatnya.
“ Terima kasih. Selaku
ketua pemuda saya berpendapat sama dengan bapak-bapak ketua RT. Tetapi
sebagai anak muda - secara pribadi saya tidak setuju dengan beberapa
rencana ketentuan dalam tata-tertib ini. Karena terlalu berat dan
terlalu mengikat kepada anak-anak muda. Saya yakin pak, kalau yang
melanggar tata-tertib ini nanti putra-putranya orang-orang tertentu,
bisa saya pastikan tidak akan ada yang berani bertindak. Juga pertanyaan
saya pak ; siapa nantinya yang akan menjadi ekskutornya ? Pak Ketua RW
sendiri ? Saya yakin pak RT-pun belum tentu mau ! Ini persoalan baru
pak. Saya kuatir aturan ini hanya akan menjadi macan kertas saja pak.
Tapi ini pendapat pribadi saya lho. Saya mohon maaf. Terima kasih “.
Sampai dengan rapat bubar , tidak terjadi adanya kesepakatan yang
signifikan. Kesimpulannya nol. Masih harus menunggu. Menunggu nanti
kalau sudah dibicarakan dengan semua warga melalui RT masing-masing.
Begitu juga pemuda. Baru akan mengadakan rapat khusus dulu dengan para
kaula muda.
Hari berganti hari minggu berganti minggu. Laporan
dari masing-masing RT dan pemuda belum juga diterima Pak RW. Timbul
pro-kontra. Baik di kalangan orang-orang tua maupun pemuda. Dampaknya
sungguh menghebohkan. Ada 2 surat kaleng dan banyak sms kontra diterima
Pak Ketua RW. Isinya tidak setuju secara halus. Ada juga yang menghujat
Pak Ketua RW secara kasar. Ide Pak Ketua RW akan memberlakukan Peraturan
Tata Tertib RW 100 lengkap dengan ancaman sanksinya dianggap
sewenang-wenang.
“ Sudahlah pak, berhenti saja jadi Ketua RW.
Sudah 8 tahun, sejak Sapto masuk SD. Serahkan ke Pak Kadus. Biar Pak
Kadus yang ngrangkep jadi Ketua RW. Pak Kadus kan punya bengkok. Ketua
RW dapat apa sih pak ? Pokoknya aku tidak setuju kalau ada rapat-rapat
lagi disini “, kata bu RW tegas.
Pak Ketua RW menghadapi
hari-hari yang berat. Serangan datang dari eksternal maupun internal.
Bersamaan dengan itu , ternyata masih ada juga warga yang datang. Mereka
melaporkan adanya kehilangan. Malingnya sudah diketahui. Tapi tidak ada
yang berani menangkap. Apalagi mengadili. Karena ternyata si maling
juga warga setempat.
“ Laporkan ke Polisi saja !!! “, kata bu RW sengak mendahului mulut Pak Ketua RW.
Demikian pula ketika ada laporan adanya tamu bermalam tanpa lapor. Juga
pemuda apel ke pemudi hingga tengah malam. Bu RW yang menjawab.
“ Laporkan saja ke pak RT. Yang punya warga itu pak RT. Pak Ketua RW
hanya koordinatornya RT-RT. Pak Ketua RW tidak memiliki warga. Di RW
100 sekarang tidak ada aturan resmi yang mengharuskan begini… , melarang
begitu…. Terus mau disuruh apa pak Ketua RW ?! Dasarnya apa ? Saya aja
isterinya gak berani nyuruh-nyuruh Pak Ketua RW begitu “.
Karena sudah dijawab seperti itu oleh Bu RW , mulut pelapor jadi
bungkam juga. Tentu dengan rasa jengkel kepada Bu RW. Bu RW semakin
berani. Lebih jauh ia masuk ke lingkaran wilayah suaminya selaku Ketua
RW. Pasti saja semua itu semakin menambah runyamnya situasi di RW 100.
Puncaknya , suka atau tidak suka Pak Ketua RW 100 terpaksa harus
mengundurkan diri. Kerana tanpa sepengetahuannya, berkas-berkas dan
peralatan RW 100 diserahkan secara sepihak oleh bu RW kepada Pak
Kepala Dusun. Hari berikutnya entah akal-akalannya siapa tidak jelas ,
sebagian warga berbondong-bondong memaksa Pak Kadus harus menjadi Ketua
RW 100 untuk sementara.
Belum genap setengah bulan merangkap
sebagai Ketua RW 100, Pak Kadus sudah angkat tangan lempar handuk.
Alasannya klasik mengingat kesehatannya. Dari lima ketua RT tak
seorangpun yang sanggup menggantikannya .
“ Kok jadi RW, jadi RT aja terpaksa , sudah repot kayak begini , maaf saja “, kata semua ketua RT yang hendak ditunjuk.
Ahirnya Kepala Desa mengambil langkah jitu. Untuk sementara Ketua RW
100 ditugaskan kepada salah seorang perangkat desa yang kebetulan
tinggal di RW 100. “ Ini patent, sampai ada Ketua RW 100 difinitif “,
kata Pak Kades tegas.
Kini disepakati akan diadakan pemilihan
Ketua RW secepatnya. Warga diminta untuk menemukan calon Ketua RW yang
tepat dan bisa diterima oleh semua pihak. Namun ternyata persoalannya
tak semudah teorinya. Tak seorangpun warga yang bersedia menunjuk calon
maupun dicalonkan sebagai Ketua RW.
“ Terserah sana - siapapun
- yang penting ada RWnya . Biarlah itu jadi urusannya Pak RT sama Pak
Kadus “, kata beberapa warga yang punya bakat untuk menjadi provokator.
Dua kali sudah diadakan rapat. Mayoritas warga tak ada yang hadir.
Untuk menanggulangi kekosongan calon , Pak Kades menyarankan agar
ditempuh musyawarah-khusus. Yaitu rembugan dengan semua unsur lembaga
dan tokoh masyarakat para tetua yang ada di RW 100. Karena tak ingin
masalah ini berlarut-larut, ba’da lohor Pak Kades turun tangan sendiri
memimpin rapatnya di Balai Desa. Ternyata musyawarah juga berlangsung
alot dan mbulet. Ahirnya dengan segala liku-liku dan romantikanya,
diputuskan untuk dicoba kembali mencalonkan Pak RW. Karena menurut Pak
Kepala Desa , pengunduran dirinya tempo hari itu lebih beraroma tekanan
dari isterinya.
“ Itu inkonstitusional. Tetapi kita juga
harus sabar mendatanginya. Membujuknya lagi secara persuasive, agar
beliau bersedia melanjutkan jabatannya “, tandas Pak Kades.
Bapak-bapak setuju ? ” , tanya Pak Kades.
Semuanya koor menjawab setuju.
“ Sekali lagi. Bapak-bapak setuju ? “.
“ Setujuuuuu !!! Yang penting ada RWnya“.
“ Penting juga saya tanyakan kepada bapak-bapak. Apakah bapak-bapak
juga sanggup menjelaskan dan mempertanggungjawabkan rencana keputusan
kita ini kepada segenap warga RW 100 ?! “, tanya Pak Kades.
“ Setujuuuuuu…..!!! “.
Pak Kades menutup rapat dengan wajah berseri-seri.
Malam itu juga Pak Kades memimpin kunjungan kerjanya ke rumah Pak RW.
Rombongannya meliputi para ketua RT dan para tokoh masyarakat pimpinan
lembaga yang ada di RW 100. Total jenderal jumlahnya 12 orang. Agar
tidak merepotkan dapur Pak RW disana, disepakati agar pak Kadus membawa
sendiri gula kopi teh dan jajanan sebagai hidangannya. Nanti di sana
tinggal minta air panasnya saja.
Kehadiran rombongan Pak Kades
kali ini membuat Bu RW tak lagi sevokal seperti kemaren-kemaren. Malah
nampak seperti sangat menikmati . Merasa terhormat dan tersanjung.
Kerana diminta langsung oleh semua tokoh formal dan non formal yang ada
agar suaminya bersedia kembali duduk menjadi Ketua RW 100 .
Pak
RW tak banyak komentar terhadap permintaan itu. Meski ia juga belum
mengangguk sepenuhnya. Hanya saja pendapat Bu RW yang agak
mencengangkan Pak Kades dan rombongannya.
“ Tapi ada satu permintaan saya pak Kades “ , tandas Bu RW.
“ Apa Bu ? Jangan angel-angel ya Bu ? “.
“ Saya minta diadakan pilihan langsung oleh seluruh warga yang berhak
memilih. Kalau dulu kan ditunjuk dan dipaksa. Meski nanti musuhnya
kotak kosong. Pokoknya kayak pemilu itu dah ! Pokoknya bagaimanapun juga
, kami ingin mendapatkan kepastian yang meyakinkan, apakah memang
warga masih menghendaki suami saya jadi Ketua RW. Kalau cuma bapak-bapak
yang menghendaki , itu sama dengan bo’ong pak “, kata Bu RW memaksa.
Dengan segala rasanya , ahirnya permintaan itu terpaksa dipenuhi.
Pilkawe dilaksanakan minggu pagi di Balai Desa. Hasilnya sungguh
menakjubkan. 93 % dari kartu suara yang masuk, pilihannya mendukung.
Sisanya golput , tidak mendukung , dan ada juga yang kartunya dirusak.
Warga bersorak-sorak gemuruh. Balai Desa gegap-gempita kayak bendungan
pecah. RW 100 telah punya Ketua RW lagi. Nama dan orangnya masih tetap
yang dulu, Pak RW.
Mendapati fakta dan kenyataan dirinya
terpilih secara telak dan mutlak, Pak RW serasa melayang-layang ringan
seperti dilahirkan kembali. Tak sadar Pak RW mencucurkan air mata haru.
Sapu tangan di tangannya hampir saja tak mampu menampung basah itu. Ia
spontan sujud sukur. “ Ternyata surat kaleng dan semua sms itu tak lebih
hanya sekedar kebiadaban yang keji saja “, bisik hati Pak RW. Bu RW
nampak kelihatan marem. Ia menebar senyum ke mana-mana. Sayangnya disitu
tak nampak Sapto anaknya yang memang abstain tidak datang tanpa alasan.
“ Jangan-jangan dia oposisi “, batin Bu RW.
Ternyata Sapto
tidak ke mana-mana. Ia di rumah saja sejak pagi. “ Males “, itu jawabnya
ketika ditanya ibunya mengapa tidak ikut pilkawe berbaur di Balai Desa.
Tak ingin Sapto dibombardir dengan pertanyaan berkepanjangan , ia masuk
kamar.
Malamnya Pak RW semangat di meja kerjanya. Ia membenahi
berkas-berkas dan arsip-arsip aneka data yang kocar-kacir di situ.
Sekarang sudah nampak rapi. Babak baru sebagai Ketua RW 100 segera akan
dimulai. Sejarah pasti akan mencatatnya, pikirnya. Ia mulai membayangkan
apa yang akan menjadi visi dan misinya ke depan. Jangka pendek maupun
jangka panjang. Jangka pendek targetnya adalah masih berniat menggolkan
Peraturan Tata Tertib yang telah susah-susah dibuatnya beberapa waktu
yang lalu. Ini untuk payung hukum semua pihak. Dalam rangka menciptakan
tata kehidupan bersama yang aman dan nyaman di wilayah RW 100, pikirnya.
Ia akan mereshuffle susunan kepengurusan RW 100 yang lama. Biar
organisasi lebih lincah dan dinamis, ia rencanakan 30 % berasal dari
golongan kaum muda. Pak Kades sudah menyuport. Seksi keamanan telah
dipilihnya yang tinggi tegap berkumis tebal. Calonnya sudah dihubungi.
Seksi sosial akan dipilihnya orang yang entengan. Sedapat mungkin semua
pengurus akan diseleksi dari orang yang entengan tapi cerdas dan
bertanggung jawab. Kerna Pak RW sadar betul bahwasanya duduk menjadi
pengurus RW adalah bagian dari pengabdian kepada nusa dan bangsanya.
Pilihan harus jeli dan cerdas , batin Pak RW. Jam dinding menunjuk
hampir pukul sembilan.
“ Bapak “, kata Sapto yang datang tiba-tiba.
“ Ya , ada apa ? “.
“ Mau matur pak “.
“ Ada apa ? “.
“ Sapto mau berhenti sekolah pak “.
“ Hah…?! Trus mau apa ? Kerja ?! “.
“ Ya “.
“ Dimana ? “.
“ Belum tahu pak “.
“ Nglindur kamu “.
“ Sapto harus segera menikah pak ”.
“ Apa ? “.
“ Marni sudah isi 3 bulan pak , maafkan Sapto pak “.
Pak Ketua RW cuma mlongo terpaku diam. Diam sediam-diamnya. Dunia
seperti gelap. Kursi jabatan Ketua RW terasa membara. Terbayang wajah
Pak Jasmidun warga RT 03 yang wajib menjadi besannya. Tak ada kata-kata
lagi dari Pak Ketua RW 100. Kemarahan tak akan menggugurkan kandungan
Marni. Beliau langsung mengeluarkan mesin tik antiknya. Dibuatnya surat
pengunduran dirinya selaku Ketua RW 100. Besuk akan diantarnya sendiri.
Kepada Pak Kadus tembusan Pak Kades.
Sapto tertunduk layu.
Pikirannya semrawut. “ Baru jadi Ketua RW sudah sok sibuk kemaruk
jabatan “, batin Sapto. *** ( Wonosobo, 221212 )
0 komentar:
Post a Comment