REKTOR TERSERET SENGKARUT KORUPSI

Saturday, August 4, 2012



Tinjauan Pendidikan

ANWARI WMK

REKTOR Universitas Pattimura, Ambon, HPB Tetelepta, Rektor Universitas Tadulako, Palu, Muh Basir, Rektor Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, Usman Rianse, dan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi untuk kasus suap yang menimpa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Angelina Sondakh.
Sebagaimana diketahui, Angelina Sondakh alias Angie ditetapkan KPK sebagai tersangka. Selaku anggota Badan Anggaran DPR, Angie diduga menerima pemberian hadiah atau janji terkait penganggaran proyek pengadaan di 16 universitas negeri di seluruh Indonesia. Nilai total proyek tersebut [yang diduga dikorupsi Angelina] mencapai Rp 600 miliar untuk tahun anggaran 2010/2011. Dalam konteks proyek pengadaan di universitas negeri itulah para rektor tersebut turut diperiksa.
Tentu, tidaklah mungkin menyimpulkan secara serta-merta, bahwa para rektor itu telah terlibat suap. Tetapi, mekanisme koruptif dalam proses pengadaan barang dan jasa berbasis pembiayaan APBN, sudah menjadi rahasia umum terjadi sejak lama. Suap dan korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa bahkan telah sejak lama pula dikecam sebagai problema tuna ahlak kalangan politisi, pejabat publik, pengusaha dan kalangan birokrat. Maka dengan sendirinya, seorang rektor sangatlah paham problema tuna ahlak itu. Menjadi aneh jika kemudian para rektor itu berkelit dengan sejumlah apologia bahwa mereka tak paham sengkarut korupsi terkait pengadaan barang dan jasa.
Penting dicatat, bahwa sejak Indonesia ditabalkan sebagai salah satu negara paling korup di dunia, pendidikan tinggi sesungguhnya terbebani oleh kewajiban moral untuk turut terlibat dalam dentuman perang melawan korupsi. Kalangan pendidikan tinggi bahkan mutlak mendedahkan perang melawan korupsi sebagai elemen penting pendidikan karakter. Paling tidak, dunia pendidikan tinggi dituntut memiliki mekanisme penolakan secara telak agar sepenuhnya terbebaskan dari sengkarut korupsi. Pimpinan puncak pendidikan tinggi lalu berada dalam satu titik pertaruhan yang tak sederhana, yaitu seberapa berani menolak segenap bentuk perilaku korup yang secara sistematis justru mengintrusi lembaganya. Pemanggilan sejumlah rektor perguruan tinggi negeri oleh KPK dalam kaitan konteks dengan kasus suap Angelina Sondakh mengindikasikan betapa sesungguhnya pendidikan tinggi memang tidak steril dari sengkarut korupsi.
Dari sini lantas timbul pertanyaan, apa yang niscaya dilakukan agar pendidikan tinggi sepenuhnya steril dari sengkarut korupsi? Ada dua jawaban terhadap pertanyaan ini, yaitu terkait dengan aspek kelembagaan dan bertali-temali dengan dimensi kepemimpinan.

Dalam aspek kelembagaan, pendidikan tinggi harus penegaskan kembali posisinya sebagai center of excellence untuk terwujudnya marwah kebangsaan dan martabat kemasyarakatan. Tuntutan ke arah ini mengharuskan pendidikan tinggi kuat dalam bidang keilmuan, riset, dan penulisan, sehingga memiliki kejelasan basis untuk membangun dan mengembangkan jejaring pengaruh dan kerja sama secara internasional. Situasi semacam inilah yang memungkinkan pendidikan tinggi benar-benar mandiri secara finansial saat harus memenuhi kebutuhan untuk melakukan penambahan sarana dan prasarana.
Dalam dimensi kepemimpinan, rektor merupakan tauladan kebajikan untuk menjalankan sistem dan mekanisme pendidikan tinggi sesuai dengan hakikatnya sebagai episentrum memperkuat cadangan ilmu. Seorang rektor, merupakan significant others bagi terciptanya wibawa dan kemuliaan ilmu. Dengan sendirinya, rektor merupakan figur ilmuwan dan intelektual sejati yang ditandai oleh kuatnya karakter berkata “tidak” pada suap atau korupsi.
Ketidakjelasan aspek kelembagaan dan dimensi kepemimpinan pendidikan tinggi hanya mencetuskan persoalan seperti dapat kita simak sekarang ini: rektor terseret sengkarut korupsi.[]

0 komentar:

Post a Comment