Tinjauan
Pendidikan
ANWARI
WMK
REKTOR Universitas
Pattimura, Ambon, HPB Tetelepta, Rektor Universitas Tadulako, Palu, Muh Basir,
Rektor Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, Usman Rianse, dan Rektor
Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto diperiksa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi untuk kasus suap yang menimpa anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Angelina Sondakh.
Sebagaimana
diketahui, Angelina Sondakh alias Angie ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Selaku anggota Badan Anggaran DPR, Angie diduga menerima pemberian hadiah atau
janji terkait penganggaran proyek pengadaan di 16 universitas negeri di seluruh
Indonesia. Nilai total proyek tersebut [yang diduga dikorupsi Angelina]
mencapai Rp 600 miliar untuk tahun anggaran 2010/2011. Dalam konteks proyek
pengadaan di universitas negeri itulah para rektor tersebut turut diperiksa.
Tentu, tidaklah
mungkin menyimpulkan secara serta-merta, bahwa para rektor itu telah terlibat
suap. Tetapi, mekanisme koruptif dalam proses pengadaan barang dan jasa
berbasis pembiayaan APBN, sudah menjadi rahasia umum terjadi sejak lama. Suap
dan korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa bahkan telah sejak lama pula
dikecam sebagai problema tuna ahlak kalangan politisi, pejabat publik,
pengusaha dan kalangan birokrat. Maka dengan sendirinya, seorang rektor
sangatlah paham problema tuna ahlak itu. Menjadi aneh jika kemudian para rektor
itu berkelit dengan sejumlah apologia bahwa mereka tak paham sengkarut korupsi
terkait pengadaan barang dan jasa.
Penting dicatat,
bahwa sejak Indonesia ditabalkan sebagai salah satu negara paling korup di
dunia, pendidikan tinggi sesungguhnya terbebani oleh kewajiban moral untuk
turut terlibat dalam dentuman perang melawan korupsi. Kalangan pendidikan
tinggi bahkan mutlak mendedahkan perang melawan korupsi sebagai elemen penting
pendidikan karakter. Paling tidak, dunia pendidikan tinggi dituntut memiliki mekanisme
penolakan secara telak agar sepenuhnya terbebaskan dari sengkarut korupsi.
Pimpinan puncak pendidikan tinggi lalu berada dalam satu titik pertaruhan yang
tak sederhana, yaitu seberapa berani menolak segenap bentuk perilaku korup yang
secara sistematis justru mengintrusi lembaganya. Pemanggilan sejumlah rektor
perguruan tinggi negeri oleh KPK dalam kaitan konteks dengan kasus suap
Angelina Sondakh mengindikasikan betapa sesungguhnya pendidikan tinggi memang
tidak steril dari sengkarut korupsi.
Dari sini lantas
timbul pertanyaan, apa yang niscaya dilakukan agar pendidikan tinggi sepenuhnya
steril dari sengkarut korupsi? Ada dua jawaban terhadap pertanyaan ini, yaitu
terkait dengan aspek kelembagaan dan bertali-temali dengan dimensi
kepemimpinan.
Dalam aspek
kelembagaan, pendidikan tinggi harus penegaskan kembali posisinya sebagai
center of excellence untuk terwujudnya marwah kebangsaan dan martabat
kemasyarakatan. Tuntutan ke arah ini mengharuskan pendidikan tinggi kuat dalam
bidang keilmuan, riset, dan penulisan, sehingga memiliki kejelasan basis untuk
membangun dan mengembangkan jejaring pengaruh dan kerja sama secara
internasional. Situasi semacam inilah yang memungkinkan pendidikan tinggi
benar-benar mandiri secara finansial saat harus memenuhi kebutuhan untuk
melakukan penambahan sarana dan prasarana.
Dalam dimensi
kepemimpinan, rektor merupakan tauladan kebajikan untuk menjalankan sistem dan
mekanisme pendidikan tinggi sesuai dengan hakikatnya sebagai episentrum
memperkuat cadangan ilmu. Seorang rektor, merupakan significant others bagi
terciptanya wibawa dan kemuliaan ilmu. Dengan sendirinya, rektor merupakan
figur ilmuwan dan intelektual sejati yang ditandai oleh kuatnya karakter
berkata “tidak” pada suap atau korupsi.
Ketidakjelasan aspek
kelembagaan dan dimensi kepemimpinan pendidikan tinggi hanya mencetuskan
persoalan seperti dapat kita simak sekarang ini: rektor terseret sengkarut
korupsi.[]
0 komentar:
Post a Comment