MENULIS NOVEL (4)

Friday, August 31, 2012

4. Buatlah alur kisah di bab awal semenarik mungkin.
Pertaruhan penulis novel kepada pembaca adalah pada bab pertama, jika pada bab awal ini penulis gagal, karena pembaca merasa tidak mengerti konflik awal yang disuguhkan, yang disajikan untuk ia meneruskan misteri demi misteri yang akan datang. Salah satu caranya adalah memperkenalkan tokoh dengan karakter yang kuat. untuk peran utama, sebisa mungkin kita membuat pembaca mulai jatuh cinta pada tokoh utama ini. Setelah itu di mulainya awal permasalahan yang jelas, hingga pembaca tak ingin menghentikan bacaannya, kita buat pembaca semakin mengenal sosok tokoh utama ini tanpa samar. Melalui caranya menghadapi masalah, sikapnya, hatinya, dialognya, dll. Menurut editor di penerbitan gagasmedia, kekuatan karakter adalah harga mati. Mesti kita gambarkan di bagian awal ini, dari satu demi satu tokoh yang muncul. Lalu di bagian selanjutnya adalah gambaran efek karakter yang tokoh mainkan, harus setia, penulis jangan sampai terjebak oleh karakter penulis sendiri.



Masalah dan emosi yang muncul, salah satunya dari tiap karakter yang tokoh punya. Contohnya
 VERMISTE.


Afrika kian kelam detik ini. Di ujung sana, Bangsa Damara yang mendiami Namibia mulai mengamuk membabi buta, memberangus keberadaan suku-suku lain yang tak sepaham di mata mereka. Bangsa yang pernah disinggahi seorang pengelana, Francis Galton, pada abad ke-19 ini benar-benar sadis. Mereka tak segan membunuh dan membantai secara kejam. Kini desaku dalam kondisi mencekam, menunggu hitungan hari untuk diserang. Meski banyak militer PBB dikirim untuk melindungi desa kami, tetapi aku masih gemetar mendengar cerita-cerita teman High School-ku, ngeri mendengar kata darah tergenang di mana-mana. Ah, sudahlah, lebih baik aku membaca buku sambil menunggu ibu angkatku menyiapkan makan siang untukku dan adik perempuanku, Alicia.

Aku senang memiliki ibu angkat seperti Ma Anggel. Meski aku berparas oriental, dan sampai detik ini aku tak pernah habis pikir bagaimana bisa tersesat di dataran panas ini semenjak bayi dan bisa menjadi anak angkat Ma, aku tak pernah peduli. Ma, yang sering kupanggil My Ma is 'n Pragtige (Ma-ku yang cantik), sangat sayang padaku, tak pernah sekalipun ia membedakanku dengan adik angkatku, Alicia. Meski Alicia sendiri tak pernah mengakuiku sebagai kakaknya. Alicia menyadari aku dan dia berbeda. Aku yang berkulit putih dengan mata sipit dan rambut lurus, sementara Alicia berkulit hitam dan berambut keriting. Namun, Ma selalu bisa membuatku nyaman dengan cacian Alicia.

"Alicia, panggil kakakmu untuk makan siang." Dari balik kamarku yang panas dan pengap, aku mendengar Ma memanggil adikku.

"Ma, sekali lagi Alicia katakan bahwa Tama Janowitz bukan kakakku. Berhenti dengan kebohongan ini. Aku tak bisa menerimanya sebagai kakak. Titik!" Teriak Alicia di dekat dapur. Aku menarik nafas panjang. Bukan kali ini saja Alicia berteriak seperti itu. Hampir saja Ma memarahi Alicia kalau saja aku tak segera menuju meja makan. Alicia cemberut menyambut kehadiranku. Sementara Ma masih sibuk menyiapkan makan siang untuk kami. Makan siang kali itu diliputi keadaan mencekam dan kekhawatiran terhadap desa kami yang akan diserang Bangsa Damara. Kami bertiga hanya diam membisu, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Setelah menghabiskan makan siang, yang sebagian bahan pokoknya merupakan sumbangan dari PBB, aku membantu Ma mencuci piring dan gelas. Tersenyum Ma mengelus rambut lurusku pelan.

"Ma harap kau tetap tenang, walau keadaan desa kita masih mencekam. Ayahmu di surga akan mendoakan keselamatan kita." Ucap Ma sambil meneteskan airmata. Dia selalu berkata seperti ini padaku, bilang chwa mendiang suaminya akan selalu mendoakan kami di surga. Sejujurnya aku sedih bila melihat Ma menangis.

Aku hanya tersenyum miris. Aku janji akan selalu menjaga Ma. Meski Bangsa Damara menyerang desa kami, aku rela mati demi Ma. Aku laki-laki satu-satunya di keluarga kecil ini. Aku harus mampu menjaga Ma dan Alicia, walaupun dia tak pernah menyayangiku.

Belum habis cucian piringku, tiba-tiba kudengar suara tembakan yang keras di luar sana. Gaduh penduduk tiba-tiba membahana, teriakan di mana-mana. Aku panik, Alicia belum lama ini keluar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Kulihat Ma sudah berlari ke luas rumah, berteriak memanggil Alicia.

"Alicia.. Alicia.." teriak Ma membuatku bergegas ingin menyusulnya. Saking paniknya, aku menabrak meja. Perutku terasa sakit. Terhuyung aku berjalan sambil memegangi perut. Ma Anggel.. Alicia.. Semoga mereka baik-baik saja. Aku mencoba untuk keluar dengan langkah pelan. Mayat-mayat bergelimpangan, orang-orang berhamburan lari entah ke mana, militer-militer PBB sibuk dengan gencatan senjatanya. Bangsa Damara sudah tiba di desa kami. Mungkin karena pasukan PBB berjumlah sedikit di sini, mereka mampu merangsek masuk desa kami. Namun kulihat manusia-manusia sadis itu sudah banyak yang mati.

Di ujung sana kulihat Alicia berteriak-teriak memeluk Ma dalam dekapannya. Sekuat tenaga aku berlari menghampiri mereka.

"Ma.. Ma.. Ma.. Bangun.." teriak Alicia memeluk Ma. Kuperhatikan wajah Ma lekat-lekat. Persendianku terasa lemas, hatiku remuk redam melihat jasad Ma yang tak lagi bernyawa. "Ma.. Ma.." teriakku menggoyang-goyang tubuh Ma, berharap Ma bangun. Namun sia-sia, tubuh itu hanya membisu seakan beku.

"Semuanya cepat ikut kami!" teriak salah satu pasukan berseragam PBB.

Kucium kening Ma untuk yang terakhir kalinya. Alicia dan aku harus segera ikut tentara PBB, sebab jika tidak Bangsa Damara akan tiba dengan jumlah pasukan yang lebih banyak. Kutarik paksa tangan Alicia di tengah isak tangisnya.

"Kita harus pergi dari sini!"

"Aku tidak mau meninggalkan Ma!" teriak Alicia, menepis tanganku.

"Kita harus pergi dari sini kalau tidak kita bisa mati." kucengkeram bahu Alicia.

"Tidak mau! Kau bukan kakakku. Pergi saja sendiri! Aku ingin menemani Ma di sini." Alicia berontak sambil menangis. Kutarik paksa tangan Alicia, berlari mengikuti pasukan PBB memasuki sebuah truk yang sudah disiapkan. Mungkin kami akan dibawa ke pengungsian. Entahlah. Di atas truk, Alicia tak henti berontak berusaha melepaskan tangannya dari cengkeramanku. Matanya terus tertuju pada tubuh beku Ma yang tergeletak di jalanan.

"Ma.. Ma.. Ma.." teriaknya berusaha turun dari truk yang membawa kami.

Bukan ku tak sedih meninggalkan jasad Ma tergeletak begitu saja, aku pun tak tega, tapi keadaan tak banyak memberi kami pilihan. Ku biarkan jasad kaku Ma yang terbaring bersimbah darah di sana. Tak tega aku untuk sekali saja menoleh pada Ma, kami harus pergi dari desa ini. Sudah tak ada waktu lagi mengurus tubuh-tubuh tak bernyawa yang bergelimpangan.

Alicia masih tergugu memanggil Ma. Bersama puluhan orang yang selamat lainnya, kami akan dibawa entah ke mana. Pikiranku berkecamuk ketakutan. Tapi aku harus tegar demi Alicia. Aku yakin kisah ini masih panjang, masih banyak hal yang akan kami alami di depan hingga konflik negara ini selesai.

"Alicia, aku akan menjagamu sampai kapanpun!" bisikku dalam hati.


Oleh: Hengki Kumayandi (Penulis Novel)

0 komentar:

Post a Comment