Masalah dan emosi yang muncul, salah satunya dari tiap karakter yang tokoh punya. Contohnya
VERMISTE.
Di ujung sana kulihat Alicia berteriak-teriak memeluk Ma dalam dekapannya. Sekuat tenaga aku berlari menghampiri mereka.
"Semuanya cepat ikut kami!" teriak salah satu pasukan berseragam PBB.
"Kita harus pergi dari sini!"
"Aku tidak mau meninggalkan Ma!" teriak Alicia, menepis tanganku.
"Kita harus pergi dari sini kalau tidak kita bisa mati." kucengkeram bahu Alicia.
"Ma.. Ma.. Ma.." teriaknya berusaha turun dari truk yang membawa kami.
"Alicia, aku akan menjagamu sampai kapanpun!" bisikku dalam hati.
Oleh: Hengki Kumayandi (Penulis Novel)
Afrika kian kelam detik ini. Di ujung sana, Bangsa Damara yang mendiami
Namibia mulai mengamuk membabi buta, memberangus keberadaan suku-suku
lain yang tak sepaham di mata mereka. Bangsa yang pernah disinggahi
seorang pengelana, Francis Galton, pada abad ke-19 ini benar-benar
sadis. Mereka tak segan membunuh dan membantai secara kejam. Kini desaku
dalam kondisi mencekam, menunggu hitungan hari untuk diserang. Meski
banyak militer PBB dikirim untuk melindungi desa kami, tetapi aku masih
gemetar mendengar cerita-cerita teman High School-ku, ngeri mendengar
kata darah tergenang di mana-mana. Ah, sudahlah, lebih baik aku membaca
buku sambil menunggu ibu angkatku menyiapkan makan siang untukku dan
adik perempuanku, Alicia.
Aku senang memiliki ibu angkat
seperti Ma Anggel. Meski aku berparas oriental, dan sampai detik ini aku
tak pernah habis pikir bagaimana bisa tersesat di dataran panas ini
semenjak bayi dan bisa menjadi anak angkat Ma, aku tak pernah peduli.
Ma, yang sering kupanggil My Ma is 'n Pragtige (Ma-ku yang cantik),
sangat sayang padaku, tak pernah sekalipun ia membedakanku dengan adik
angkatku, Alicia. Meski Alicia sendiri tak pernah mengakuiku sebagai
kakaknya. Alicia menyadari aku dan dia berbeda. Aku yang berkulit putih
dengan mata sipit dan rambut lurus, sementara Alicia berkulit hitam dan
berambut keriting. Namun, Ma selalu bisa membuatku nyaman dengan cacian
Alicia.
"Alicia, panggil kakakmu untuk makan siang." Dari balik kamarku yang panas dan pengap, aku mendengar Ma memanggil adikku.
"Ma, sekali lagi Alicia katakan bahwa Tama Janowitz bukan kakakku.
Berhenti dengan kebohongan ini. Aku tak bisa menerimanya sebagai kakak.
Titik!" Teriak Alicia di dekat dapur. Aku menarik nafas panjang. Bukan
kali ini saja Alicia berteriak seperti itu. Hampir saja Ma memarahi
Alicia kalau saja aku tak segera menuju meja makan. Alicia cemberut
menyambut kehadiranku. Sementara Ma masih sibuk menyiapkan makan siang
untuk kami. Makan siang kali itu diliputi keadaan mencekam dan
kekhawatiran terhadap desa kami yang akan diserang Bangsa Damara. Kami
bertiga hanya diam membisu, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Setelah menghabiskan makan siang, yang sebagian bahan pokoknya merupakan
sumbangan dari PBB, aku membantu Ma mencuci piring dan gelas. Tersenyum
Ma mengelus rambut lurusku pelan.
"Ma harap kau tetap tenang,
walau keadaan desa kita masih mencekam. Ayahmu di surga akan mendoakan
keselamatan kita." Ucap Ma sambil meneteskan airmata. Dia selalu berkata
seperti ini padaku, bilang chwa mendiang suaminya akan selalu mendoakan
kami di surga. Sejujurnya aku sedih bila melihat Ma menangis.
Aku hanya tersenyum miris. Aku janji akan selalu menjaga Ma. Meski
Bangsa Damara menyerang desa kami, aku rela mati demi Ma. Aku laki-laki
satu-satunya di keluarga kecil ini. Aku harus mampu menjaga Ma dan
Alicia, walaupun dia tak pernah menyayangiku.
Belum habis
cucian piringku, tiba-tiba kudengar suara tembakan yang keras di luar
sana. Gaduh penduduk tiba-tiba membahana, teriakan di mana-mana. Aku
panik, Alicia belum lama ini keluar rumah untuk bermain dengan
teman-temannya. Kulihat Ma sudah berlari ke luas rumah, berteriak
memanggil Alicia.
"Alicia.. Alicia.." teriak Ma membuatku
bergegas ingin menyusulnya. Saking paniknya, aku menabrak meja. Perutku
terasa sakit. Terhuyung aku berjalan sambil memegangi perut. Ma Anggel..
Alicia.. Semoga mereka baik-baik saja. Aku mencoba untuk keluar dengan
langkah pelan. Mayat-mayat bergelimpangan, orang-orang berhamburan lari
entah ke mana, militer-militer PBB sibuk dengan gencatan senjatanya.
Bangsa Damara sudah tiba di desa kami. Mungkin karena pasukan PBB
berjumlah sedikit di sini, mereka mampu merangsek masuk desa kami. Namun
kulihat manusia-manusia sadis itu sudah banyak yang mati.
Di ujung sana kulihat Alicia berteriak-teriak memeluk Ma dalam dekapannya. Sekuat tenaga aku berlari menghampiri mereka.
"Ma.. Ma.. Ma.. Bangun.." teriak Alicia memeluk Ma. Kuperhatikan wajah
Ma lekat-lekat. Persendianku terasa lemas, hatiku remuk redam melihat
jasad Ma yang tak lagi bernyawa. "Ma.. Ma.." teriakku menggoyang-goyang
tubuh Ma, berharap Ma bangun. Namun sia-sia, tubuh itu hanya membisu
seakan beku.
"Semuanya cepat ikut kami!" teriak salah satu pasukan berseragam PBB.
Kucium kening Ma untuk yang terakhir kalinya. Alicia dan aku harus
segera ikut tentara PBB, sebab jika tidak Bangsa Damara akan tiba dengan
jumlah pasukan yang lebih banyak. Kutarik paksa tangan Alicia di tengah
isak tangisnya.
"Kita harus pergi dari sini!"
"Aku tidak mau meninggalkan Ma!" teriak Alicia, menepis tanganku.
"Kita harus pergi dari sini kalau tidak kita bisa mati." kucengkeram bahu Alicia.
"Tidak mau! Kau bukan kakakku. Pergi saja sendiri! Aku ingin menemani
Ma di sini." Alicia berontak sambil menangis. Kutarik paksa tangan
Alicia, berlari mengikuti pasukan PBB memasuki sebuah truk yang sudah
disiapkan. Mungkin kami akan dibawa ke pengungsian. Entahlah. Di atas
truk, Alicia tak henti berontak berusaha melepaskan tangannya dari
cengkeramanku. Matanya terus tertuju pada tubuh beku Ma yang tergeletak
di jalanan.
"Ma.. Ma.. Ma.." teriaknya berusaha turun dari truk yang membawa kami.
Bukan ku tak sedih meninggalkan jasad Ma tergeletak begitu saja, aku
pun tak tega, tapi keadaan tak banyak memberi kami pilihan. Ku biarkan
jasad kaku Ma yang terbaring bersimbah darah di sana. Tak tega aku untuk
sekali saja menoleh pada Ma, kami harus pergi dari desa ini. Sudah tak
ada waktu lagi mengurus tubuh-tubuh tak bernyawa yang bergelimpangan.
Alicia masih tergugu memanggil Ma. Bersama puluhan orang yang selamat
lainnya, kami akan dibawa entah ke mana. Pikiranku berkecamuk ketakutan.
Tapi aku harus tegar demi Alicia. Aku yakin kisah ini masih panjang,
masih banyak hal yang akan kami alami di depan hingga konflik negara ini
selesai.
"Alicia, aku akan menjagamu sampai kapanpun!" bisikku dalam hati.
Oleh: Hengki Kumayandi (Penulis Novel)
0 komentar:
Post a Comment