”Jaga Shera dengan baik ya bu..” pamit ayah
sambil menenteng tas besar. Sebelum kaki ayah melangkah melewati pagar bambu,
ibu mencium tangan ayah dengan haru. Mata keduanya berkaca-kaca. Ayah pun tak
lupa mengelus kepalaku dan berjongkok untuk mengecup pipi dan keningku.
“Sayang, selama ayah pergi, jangan rewel ya. Jadi anak yang pinter dan nurut
sama ibu ya.. oke !.Mata yang tadi berkaca berganti menjadi bergemintang-hanya
untuk menghiburku- yang sedari sore hanya menunduk, memanyunkan bibir dan
memeluk erat boneka Winnie the Pooh yang sudah kucel, boneka pemberian ayah
saat ulang tahunku yang ke tiga.
“Daagh ibu…..daagh Shera… Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam..” lirih jawaban ibu.
Ekor matanya mengikuti langkah demi langkah ayah hingga hilang dari pandangan,
sementara aku masih diam berdiri mematung di samping ibu.
“ Ayo masuk ,Shera! Hari sudah gelap”
tangan ibu menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah.
Dingin, hampa.
Itulah yang kurasakan selalu. Sesaat
setelah ayah pergi. Sunyi. Seperti rumah tak berpenghuni.
Sejauh aku bisa mendengar, berbicara dan
mengingat, ayah adalah cahaya dirumah mungil ini. Di matanya ada bintang yang
berkelip dan berpendar indah. Mata bintang itu yang bermakna ketulusan, ketika
mulut kecilku terbata-bata mengeja huruf latin atau tergopoh-gopoh menghitung
penambahan sederhana dengan lidi-bahkan di usiaku yang menginjak 7
tahun,-ketika ibu mulai menyikapi keterlambatanku dengan lenguhan dan
kemarahan. Ayahlah yang melengkung senyum pelangi di bibirnya. Meredakan isakku
dan menggantinya dengan cerita putri dan pangeran kodok.
Aku sepenuhnya mengerti beratnya pekerjaan ayah di Jakarta. Akan tetapi dua
minggu penantianku tak ubahnya menunggu dua bulan. Aku rindu dibelikan coklat
berbentuk koin, rindu bermain busa sabun di pekarangan rumah dan rindu untuk
bertemu hari Sabtu dan Minggu,minggu kedua dan ke empat setiap bulan. Dan Senin
petang adalah hari yang aku benci karena itu berarti ayah kembali ke Jakarta.
Aku benci perpisahan. Aku tak sanggup melihat mata ayah dan ibu yang
berkaca-kaca seolah waktu dua hari seperti sekelebat saja. Dan aku tak suka
lambaian tangan walau sebenarnya aku tahu, disetiap lambaian tangan itu ada
do’a yang tiada putusnya untukku.
Ya…untukku.
“Shera, PR bahasa inggris sudah d kerjakan belum ? besok hari selasa lho !”
teriak ibu dari dapur,mengembalikan kesadaranku.
“Coba ibu lihat !” tahu-tahu ibu
sudah berada di kamarku sambil menyalakan lampu belajar. Aku bergerak malas,
aku tak suka bahasa inggris apalagi matematika. Yang kusuka adalah menggambar.
Otakku memang tumpul seperti yang di katakan teman-temanku. Aku selalu rangking
satu, tetapi rangking satu dari belakang alias yang paling bodoh dikelas.
Ayah dan ibu salah memasukkanku di sekolah ini. Harusnya aku bisa ranking satu
di SLB. Tiba-tiba aku ingin menangis saja. Ibu menangkap keputusasaanku,
Selalu saja begitu setiap kali di suruh belajar, itulah
kira-kira keluhan ibu tetapi selalu urung di katakannya.
“Mana yang susah, Sher ?” tanya ibu tanpa
ekspresi.
Semua, jawabku dalam hati.
“Yang ini ? bab ini kan sudah di ulang
berkali-kali ?! masih belum mengerti ?!” nadanya meninggi. Ibu geleng-geleng
kepala. Reputasinya sebagai guru teladan di sekolah favorit se-kecamatan,
longsor, demi mempunyai anak yang lelet sepertiku. Aku, selama berkali-kali,
sepanjang tahumn, hanya membuat tekanan darah tingginya kian naik.
Maafkan aku ibu…..
Ayah, seandainya ayah pulang. Jika aku
boleh berdoa, semoga mendadak hujan deras dan ayah tidak mendapatkan bus
jurusan Jakarta. Alangkah senangnya. Peer bahasa inggris yang serasa mencekikku
akan selesai berkat bimbingan ayah. Ayah yang tidak pernah sekalipun bernada
‘si’ namun selalu ‘do’ membuatku tak merasa terhakimi. Juga kalimat motivasinya
yang selalu ia selipkan di antara lembaran-lembaran buku teks atau buku
catatanku. Sebuah kejutan sederhana tapi indah tak terperi.
Shera yang manis, jangan menangis. Tersenyumlah
Ayah
Itulah note yang ayah selipkan di buku teks
matematika, dua minggu yang lalu. Ku eja pelan-pelan hingga dua menit dengan
penuh kesabaran. Akupun dapat melihat pantulan wajahku di cermin. Tersenyum
lebar, seolah aku bisa melihat wajah ayah yang juga sedang tersenyum. Kami
bertukar senyum. Bertukar kebahagiaan. Namun malam ini, saat ku cari-cari,
secuil kertas pesan motivasi dari ayah tak jua kutemukan. Aku mendadak sedih.
Semangatku runtuh.
Ah, mungkin ayah lupa.
***
Satu tahun berselang.
Ayah tak pernah berubah. Setidaknya
dimataku. Sikapnya yang selalu manis, lembut, melindungi dan memanjakan. Begitu
juga ibu. Tetaplah sosok yang penyayang yang meng -ekpresikan cinta dengan cara
yang berbeda. Tegas dan keras. Dan aku tetaplah gadis kecil yang kehilangan
kepercayaan diri. Terkungkung dalam pikiranku sendiri bahwa nasib yang
melahirkanku dengan ketidak sempurnaan akal ini. Aku seperti tersesat dalam
labirin dan terus berputar-putar di dalamnya mencari jalan keluar. Tapi buntu.
Bahkan, yang paling memilukan, aku tak punya teman dekat. Teman sekelasku
seperti tak berminat menjalin hubungan pertemanan denganku, apalagi menawarkan
persahabatan tanpa syarat. Karena tak ada untungnya nge-gank dengan anak
perempuan lamban ini. Benakku sering memimpikan memiliki sahabat, walaupun
hanya satu, dan satu-satunya di dunia ini. Sahabat yang menyediakan telinganya
untuk sekedar mendengar curhatku. Ataupun hanya berkomentar pendek ‘lukisanmu
jelek’, atas gambar yang susah payah kubuat semalaman. Ah, mungkin Tuhan masih
memeluk mimpi itu dan memberi gantinya dengan kehadiran sosok terpenting dalam
sejarah hidupku: ayah.
Oh ya, kata ayah aku tak boleh menutup diri
atau memasang muka masam. Karenanya teman enggan mendekat. Lalu aku mencobanya,
sepanjang waktu melatih senyum terbaikku. Termanisku. Ayah pernah bilang kalau aku
manis. Entahlah, mungkin bukan tersenyum manis tapi malah
menyeringai. Bibirku terlalu kaku walau hanya untuk dibuat melengkung.
Lelah, kuraih pensil dan selembar kertas.
Mencoret-coret sekenanya. Hanyut dalam dunia imajinasiku sendiri. Hanya dengan
cara ini aku menghibur diri. Melupakan sesak yang sewajtu-waktu menyerangku
tanpa ampun. Membunuh rasa rinduku pada ayah dan sosok seorang sahabat.
Meluapkan kemarahan yang entah kualamatkan pada siapa. Aku tak tahu. Setidaknya
aku bersyukur, aku tak menjadi gila karena perlakuan buruk nasib padaku.
Tidak.
Demi ayah. Demi ayah yang setiap peluhnya
adalah pembuktian cintanya pada keluarga. Hingga ia rela menempuh jarak
bermil-mil jauhnya, untuk menafkahi kami. Berusaha memberikan yang terbaik
untuk istri dan anak semata wayangnya. Semampunya. Berakrab-akrab dengan
kesepian setiap dua minggu dan dua minggu yang akan datang. Begitu seterusnya,
selama bertahun –tahun. Tak pernah mengeluh akan penatnya badan jika
sesekali harus duduk menggelosor di atas lantai kereta api beralaskan koran,
saat kehabisan tiket. Tak pernah protes jika masakan ibu kurang sedap atau
kurang garam. Hidup ini terlalu singkat untuk hal-hal yang tak berguna. Itulah
petuah yang terngiang di telingaku,tapi sama sekali tak bisa kuwujudkan sampai
detik ini. Ironis sekali.
“astaghfirullah!”
Ujung pensil yang sedari tadi kugenggam,
patah. Tanpa kusadari yang kulukis adalah sketsa gambar ayah.
Wajah sederhana dengan kumis dan
jenggotnya. Sedang tersenyum kepada seorang bocah kecil yang kurus dan murung.
Itu aku. Pasti.
Mengapa bisa begitu mirip? Gambar ini tak
sengaja kubuat. Lebih tepatnya asal-asalan.
Ah, ayah.. tiba-tiba aku kangen ayah. Ayah
sedang apa ya? Sayangnya aku belum diizinkan ayah untuk mempunyai hp. Belum
begitu penting, katanya. Aku menurut saja.
“kriiiinnggggg….kriiiiiingngggg…”
“Halo?” sapaku.
Tak ada jawaban. Lalu, suara kemerosok.
“ya halo? Maaf dengan siapa ya? “ ulang
ibu. gagang telepon berpindah tangan. Aku mendongak ingin tahu siapa si
penelepon dan ada kabar berita apa.
Tiba-tiba
tangan ibu yang menggenggamku menjadi sedingin balok es. Gemetar. Basah oleh
keringat. Ibu menganga. Terbata-bata merangkai kata demi kata. Kalimat demi
kalimat. Air matanya menetes dan jatuh tepat di ubun-ubun kepalaku.
Ibu kenapa?
Aku masih belum mengerti yang sesungguhnya
terjadi. Tetapi pastilah ada sesuatu yang menyedihkan.
“Sher,,, aa… ayaahh?” tangisnya pecah. Ibu
memelukku erat sekali seolah tak mau lepas.
Aku melongo. Meminta penjelasan. Ibu hanya
menjawab dengan sedu sedan.
***
“Assalamualaikum,, ayah pulang..!!!”
Ibu membuka gorden pembatas. Aku lari
menghambur di pelukan ayah. Menagih CD Mickey Mouse yang ayah janjikan dua
minggu yag lalu. Tatapannya berarti ‘beres, sayangku’, membuatku lega. Ternyata
ayah menepati janjinya. Lalu, ibu pun mendekat. Mencium punggung tangan ayah.
Syahdu. Indah.
***
Akhir
yang happy ending.
Itulah
adegan syahdu dan indah yang sayangnya hanya
tercetak di halaman akhir komikku.
***
0 komentar:
Post a Comment