Kuburan tua itu telah kehilangan wibawanya. Kesan angker dan singup yang dulu bisa bikin bulu kuduk meremang, sekarang sudah pudar sirna dan hilang. Hilang ditelan temaram lampu-lampu neon jalanan yang gemerlapan.
Jalan itu dulu sempit, kini semakin lebar memuai menghimpit demarkasi pekuburan. Tak siapapun mampu menghadang terjangan syahwat pembangunan. Kuburan tua itupun tak berkutik dicekik perluasan kota yang semakin menggurita. Yang nampak sekarang hanyalah hamparan batu nisan berjajar di atas tanah merah kering-kerontang dicabik-cabik putaran roda jaman.
Hutan kamboja-pun yang dulu pernah rimbun menjulang rindang, kini hanya tinggal kenangan, sejarahpun telah melupakan. Tersisa cuma sebatang, kesepian tanpa kembang-kembang yang indah asri memutih bersih. Daunnya nampak pucat lunglay, subur tidak–matipun tidak. Ada dua layangan sobek dan satu rangka layangan nyangkut di pucuknya. Menjadikan areal pekuburan tua itu semakin merana tak punya wibawa.
Dahulu di sekelilingnya hanyalah tanah tegalan yang sunyi. Tapi kini sudah berubah fungsi menjadi riuh dengan akar-akar dan pohon-pohon beton yang terus-menerus mendesak para arwah yang sudah lama menghuni pekuburan itu. Ada rumah, ruko, swalayan, bengkel, rental, warung bakso, salon kecantikan, pedagang kaki lima, dan yang saat ini sedang dibangun adalah show room yang berbatasan langsung dengan batas wilayah pekuburan itu.
Menurut isu yang berhembus, pemilik bakal show room juga tengah melirik areal pekuburan tua itu. Konon katanya urusannya sudah sampai pada taraf sedang dijajagi ke pihak-pihak terkait yang berwenang. Namun prosesnya tidak mudah, karena sedang tawar-menawar dengan alotnya. Persoalannya menurut isu berikutnya, adanya peminat lain yang katanya lebih berani dengan harga lebih tinggi berniat membangun SPBU di situ. Sehingga pengambil keputusan jadi limbung bingung menimbang-nimbang lebih menguntungkan yang mana.
Kabar burung itu sempat hinggap di telinga Panut abang becak yang biasa mangkal di depan swalayan. Kata Panut kepada Paijo rekan sesamanya, “ Jo, jebul yang bisa digusur tidak hanya rumah-rumah liar yang sedang ditempati orang-orang susah yang masih hidup, tapi rumah-rumah resmi orang yang sudah matipun juga bisa digusur ”. Panut tertawa ngakak, suaranya lantang kayak burung gagak lagi birahi. “Jadi orang mati susah juga ya”, kata Panut santai.
Semua itu bisa terjadi mungkin karena jumlah orang hidup yang semakin banyak, sehingga kepentingan orang matipun jadi terdesak. Jika jumlah orang hidup semakin banyak, maka otomatis butuh makan butuh papan butuh sandang yang semakin banyak pula. Untuk itu mereka saling bersaing, mereka saling menyingkirkan, mereka saling bermusuhan, mereka saling berkawan, mereka saling menipu, mereka saling selingkuh, mereka saling membunuh, mereka saling memfitnah, mereka saling bekerjasama, mereka saling menjadi maling, mereka saling mendoakan, mereka saling mencaci-maki. Bisa demi uang, bisa demi sebutir nasi, bisa demi sebutir berlian, bisa demi seuntai cinta, bisa demi martabat keluarga, bisa demi egoism, bisa demi harga diri, bisa demi persahabatan, bisa demi keserakahan dan bisa demi-demi yang lain apa saja terserah suka-suka.
Rupanya sekarang ini tak ada lagi permukaan bumi yang bebas dari incaran orang-orang berduit untuk mencari duit. Laut , pantai, danau, sungai, gunung, hutan, langit mungkin, bahkan tanah kuburanpun bisa jadi rebutan.
Jaman dulu jangankan masuk ke areal pekuburan itu, siang hari saja lewat di jalan depannya tak semua orang berani menoleh ke hamparan nisan-nisan itu. Apalagi malam hari. Pohon-pohon kamboja yang rindang telah memberikan nuansa aura tersendiri. Terlebih ketika senja tiba, apalagi saat hujan gerimis langit mendung. Hanya Mbah Truno seorang diri yang berani nyali masuk ke areal pekuburan itu. Siang maupun malam. Karena ia memang juru kuncinya yang juga tinggal berdampingan di belakang areal pekuburan itu. Mbah No, begitu orang-orang memanggilnya. Usianya kini 70 tahun lebih. “ Saya menjadi juru kunci di sini mulai Rudi Hartono pas jadi juara badminton “, begitu katanya suatu ketika saat ditanya oleh salah seorang peziarah yang mengaku masih kerabat dekat dengan salah satu ahli kubur.
Menurut pengakuannya, Mbah No merupakan generasi ke tujuh turun temurun yang menjadi juru kunci sejak tanah itu diikhlaskan menjadi pemakaman umum oleh pemiliknya Ki Demang Sugro pada waktu itu. Mbah No yakin bahwasanya turun temurun menjadi juru kunci makam adalah sudah ginaris dari sananya. Iapun ingin bila saatnya tiba nanti agar dirinya juga dikubur berdampingan dengan makam isterinya di situ. Seperti halnya enam pendahulunya. Sayangnya keinginan ini belum bisa diwasiatkan kepada siapapun. Inilah persoalannya yang membuat hatinya risau. Ia tidak punya keturunan. Ketujuh saudaranya semuanya sudah mati lebih dulu. Para keponakannya dan family dari isterinya tak ada yang gubris pada dirinya. Justru tetangganya yang nota bene orang lain malah peduli kepadanya. Lalu siapa yang akan menjadi pewarisku ? Siapa yang akan menangani penguburanku kelak bila aku dipanggil ?
Sebagai juru kunci Mbah No sangat hapal seluk-beluk semua kuburan di situ. Ini makam siapa, itu makam siapa, ini trah turunan siapa dan seterusnya dan seterusnya. Semua yang diketahuinya itu didasarkan atas pitutur dari pendahulunya dan juga menurut catatannya sendiri. Ia masih ingat betul apa yang dikatakan oleh almarhum orang tuanya dulu. Menjadi juru kunci kuburan adalah pengabdian. Pekerjaan juru kunci kuburan memiliki nilai keikhlasan yang tinggi, bukan paksaan dan tidak digaji secara pasti. Tidak semua orang bisa menjalaninya meski itu keturunan langsung sekalipun. Enak dan tidak-enaknya sangatlah relatif dan abstrak. Untung-rugi dan suka-dukanya juga sangat beragam. Tidak bisa diukur dengan nilai materi semata. Di situ ada kemewahan batin yang tak bisa dijual-belikan. Sehingga walaupun sudah separo lebih usianya hanya digunakan untuk bergelut dengan pekuburan tua itu, ia seperti terasing dari sentuhan materi dunia dan dunia materi.
Seandainya yang dimakamkan di situ ada seorang saja yang tercatat dalam buku sejarah nasional, ataupun ulama kondang yang berpengaruh, mungkin limpahan peziarah relative dapat memberikan nilai lebih kepada isi kantong Mbah No. Sayangnya semua almarhum di situ adalah orang-orang kebanyakan. Malah ada beberapa makam gelandangan tak dikenal, preman yang mati dimassa dan gali bertato korban petrus tempo lalu. Sehingga tidak mungkin orang akan berbondong-bondong datang berziarah.
Mbah No sedih melihat situasi wilayah kerjanya saat ini. Menurutnya, suasana di pekuburan ini sudah tak karuan semakin semrawut. Di sana-sini nampak jemuran kumal milik gelandangan yang digeletakkan seenaknya di atas nisa-nisan itu. Di pinggiran areal pekuburan gelandangan mendirikan beberapa gubuk kumuh sekedar tempat berlindung bagi tubuh dan nyawa mereka. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak mampu bertindak, mereka lebih sengsara dari pada aku, itulah prinsip Mbah No.
Juga para pekerja bangunan banyak yang menaruh peralatannya sembarangan di seputaran wilayah pekuburan. Kalau ada barang hilang yang barangkali disikat oleh para pemulung atau gelandangan, yang dijadikan sasaran sebagai nara sumber pertama pertanyaannya adalah Mbah No. Ini sungguh sangat tidak mengenakkan baginya. Kalau sudah begitu ia hanya bisa menjawab tidak tahu, meskipun ia tahu, karena prinsipnya : itu bukan urusanku, itu salahmu sendiri naruh barang seenaknya, dan semua orang harus mencari nafkah.
Bila musim angin tiba, tak terhitung lagi jumlah anak-anak yang bermain layang-layang di situ. Kakinya berlompatan menginjak-injak kuburan dengan tidak-sopannya sambil berlari-lari ke sana ke mari. Sering terjadi ada yang lututnya luka melocot gara-gara saling berebut mengejar layangan putus kesandung batu nisan. Beberapa batu nisanpun ambruk roboh ke tanah. Kalau sudah begini, tentu menambah pekerjaan Mbah No. Nampaknya pekerjaan ini sepele. Tapi kalau ditunda-tunda bisa menghilangkan jejak kuburan itu. Karena tidak semua kuburan telah dikijing oleh pewarisnya.
Ada juga yang bermain badminton asal-asalan. Bahkan ada yang nekad bermain bola. Mbah No susah juga memperingatkan anak-anak bengal itu. Salah-salah bisa orang tuanya yang datang gak terima. “Memangnya kuburan ini milikmu, cuma tukang jaga kuburan saja berlagak”, kalimat-kalimat seperti itu pernah masuk ke telinga Mbah No. Beruntung telinga Mbah No agak tuli sedikit. Sehingga adu mulutpun tak berlanjut lebih seru. Yang ada di benaknya cuma prihatin dan kasihan kepada anak-anak itu. Kasihan karena sekarang anak-anak itu sudah tidak mudah lagi menemukan ruang terbuka sekedar buat bermain-main bersama.
Yang lebih menyakitkan lagi bila tiba saat musim nyadran. Beberapa pemuda mengatas-namakan organisasi pemuda setempat tiba-tiba menyatakan diri sebagai petugas parkir yang sah dan resmi di seputaran makam. Hasilnya malah dibuat mabuk-mabukan di situ juga. Ada pula beberapa orang bergantian yang mengaku sebagai juru kunci di situ. Dengan tenangnya orang-orang itu melakukannya dengan mantap, sopan dan meyakinkan. Semua kelakuan itu ujung-ujungnya duit. Kalau sudah begitu Mbah No justru lebih suka menyingkir sambil mengamati gerak-gerik mereka dari jarak yang agak jauh. Dari pada mendapatkan intimidasi yang pada ahirnya berujung pada perseteruan berkepanjangan, Mbah No tak mau itu terjadi di sisa hidupnya. Ia ingin mengisi sisa hari-harinya dengan menyintai dan dicintai sesamanya.
Tapi sebenarnya bukan semata-mata masalah intimidasi ini yang membuat Mbah No memilih menyingkir. Ia hanya lebih merasa memberikan kesempatan saja kepada orang-orang itu. Mungkin orang-orang itu butuh pekerjaan karena tidak punya pekerjaan tetap, atau mereka memang punya bakat alam yang butuh penyaluran. Dan barangkali juga bisa membantunya bila mana memang diperlukan. Tinggal memberinya pengetahuan tambahan saja mengenai seluk-beluk ahli kubur yang ada di situ.
Diam-diam Mbah No serius mengamati juru kunci-juru kunci palsu itu. Kalau ia boleh membuka pendaftaran calon penggantinya, menguji dan memilih siapa diantara mereka yang lulus dan pantas menjadi juru kunci beneran, Mbah No sudah punya pilihan. Pilihannya jatuh kepada yang namanya Dirmin. Tetapi Mbah No belum siap mental untuk berbicara kepada Dirmin. Karena ia juga tidak tahu apakah dirinya punya kewenangan dan hak untuk menunjuk penggantinya.
Siang hari usai solat lohor Mbah Truno duduk jongkok memandangi makam isterinya. Tubuhnya yang tua nampak lemas kepayahan. Sorot matanya layu dan redup. Sudah lebih setengah jam mulutnya komat-kamit membaca doa. Kepalanya tertunduk, dua matanya meneteskan air bening. Dua tangannya dan sepuluh jemarinya tak henti-henti bergerak-gerak, ia tak rela rumput-rumput liar tumbuh di atas makam isterinya. Semakin tajam ia memandang makam itu, semakin deras air bening mengalir dari matanya.
Sesaat kepalanya mendongak, matanya yang cekung memandang penuh kasih sayang ke sudut-sudut pekuburan. Ia melihat seorang gelandangan renta tengah menjemur tikar kumal diantara anak-anak tanggung yag tengah berlari-larian mengejar layangan putus. Ada juga anak-anak bermain bola dengan teriakan-teriakan khasnya. Anginpun berhembus menggoyang-goyang pucuk-pucuk kamboja.
Mbah Truno kembali menundukkan kepalanya. Dua matanya lebih deras lagi meneteskan air bening. Hatinya berbisik seperti apa yang dikatakan Pak Lurah kepadanya tadi pagi di Kantor Kelurahan. Dua bulan lagi kamu dan semuanya di sini akan dibongkar. Semuanya akan dipindah ke tempat yang baru. Karena di sini akan dibangun pom bensin. Pom bensin lambang kesejahteraan orang-orang ber-uang. Pom bensin yang nantinya juga akan menyerap tenaga kerja lebih dari satu orang.
Teka-teki dalam hati Mbah Truno bertanya-tanya, di tempat baru nanti, masih adakah tempat untuk para gelandangan itu ? Masihkah anak-anak itu bisa bermain-main lagi di sana ? Lalu akan ke manakah aku setelah itu ?
Tiba-tiba tubuh tua Mbah Truno tersungkur dan terkapar tepat ke tengah-tengah pusara isterinya. Bukan karena jantungan tak tahan menahan kesedihannya. Melainkan karena adanya bola liar yang berasal dari tendangan ngawur anak-anak itu telah menghantam punggungnya. Seketika anak-anak itu berlarian bubar berpencar menjauhi kuburan. Bola itu berdesis seperti ular pyton kelaparan, melayang-layang dengan kecepatan dan kekuatan yang berlebih kalau hanya untuk merontokkan jantung Mbah Truno.*** ( Wonosobo 13413 )
Karya:Rasjid Daljatmo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment